Kisah tentang malam terakhir Yesus bersama murid-muridnya sudah sering kita dengar, entah dari bacaan kitab suci, lukisan Da Vinci, atau ceramah di hari Minggu.Â
Namun The Last Supper (2025) menawarkan pengalaman yang berbeda. Film ini bukan sekadar mengulang cerita klasik, melainkan membawanya ke ruang yang lebih personal dan emosional.Â
Penonton diajak menyelami ketegangan di balik meja makan menjelang Paskah yang sakral itu. Film ini berbicara tentang iman, pengkhianatan, dan rasa persaudaraan diuji secara bersamaan.
Disutradarai dengan pendekatan yang intim, The Last Supper mencoba memperlihatkan sisi manusiawi para murid.Â
Mereka bukan sekadar simbol keimanan, tapi pribadi dengan "manusiawi" ada ketakutan, ambisi, bahkan rahasia yang sulit diungkap.Â
Cerita banyak difokuskan pada perspektif Petrus, yang di sini tampil lebih dari sekadar "pemimpin yang tegas".Â
Ia adalah sosok yang berusaha menjaga keutuhan saudara-saudaranya di tengah kecamuk batin masing-masing.Â
Namun, seperti yang kita tahu, Petrus juga menyimpan ketakutan yang pada akhirnya membuatnya menyangkal gurunya.Â
Film ini tidak sungkan membiarkan kita melihat celah-celah rapuh itu.
Petrus, Yudas, dan Malam Penuh Pertanyaan