Pada hari Rabu, (12/2), saya mengalami pengalaman unik saat seorang calon karyawan melamar ke tempat kerja saya.Â
Dari awal perkenalan, dia mengaku bahwa posisi terakhirnya adalah asisten head barista. Yap, jabatan yang cukup tinggi untuk ukuran industri kopi di umur dia yang masih 22 tahun.Â
Komunikasinya pun terbilang bagus, cukup percaya diri dan jelas dalam menyampaikan maksudnya. Namun, ada sesuatu yang terasa janggal dari cara dia membawakan diri.
Dari penampilan dan gesturnya, dia terlihat seperti seseorang yang terbiasa memerintah, bukan seseorang yang siap bekerja sama dalam tim.Â
Sikapnya lebih mirip seperti bos yang sedang mencari mitra bisnis, bukan seorang pelamar kerja yang ingin membangun pengalaman baru. Saya mengamati ini dengan sedikit keheranan, karena dalam dunia kerja, terutama di industri F&B yang serba dinamis.Â
Attitude lebih bernilai daripada sekadar pengalaman kerja sebelumnya.
Kemudian, obrolan kami berlanjut ke topik gaji. Dia mulai berhitung dengan detail, membandingkan gaji terakhirnya dengan yang ditawarkan.Â
Di satu sisi, hal ini wajar. Siapapun tentu ingin mendapatkan kompensasi yang sesuai dengan keahlian dan pengalaman.Â
Namun, ada satu hal yang cukup menggelitik: usianya masih tergolong muda, dan yang paling penting dalam tahap ini adalah niat serta etos kerja, bukan sekadar angka di slip gaji.Â
Jika seseorang masih dalam fase belajar dan mengembangkan diri, mengutamakan pengalaman dan lingkungan kerja yang sehat bisa jauh lebih berharga ketimbang sekadar nominal gaji.