Anak komunikasi sekarang mah kudu canggih-canggih.
Hai, kenalin dulu. Ini si anak Komunikasi, lulusan universitas swasta di Tangerang. Masih muda memang, tapi kadang ada momen self-reflection yang bikin mikir, “Kok bisa secepat ini, ya?”, “Energi darimana, sih? Kok nggak tumbang?” Hahaha. Suwer-duwer, jadi lulusan 3,5 tahun untuk S1 dan 1,5 tahun untuk S2 itu bukan sekadar fast track—ini mah turbo mode.
Semuanya bermula dari obsesi masa SMA yang pengen banget masuk Ilmu Komunikasi. Alasannya?
Pertama, jurusan ini kayak buffet ilmu, bisa belajar apa aja. Nggak terjebak di satu disiplin doang kayak ekonomi, hukum, atau fisika.
Kedua, anak-anak komunikasi katanya selalu update, nggak kudet, dan punya vibe asyik—kata orang, ya, bukan kata saya.
Tapi, realitanya jadi mahasiswa komunikasi itu nggak segampang keliatannya. Memang, orang suka nyelutuk, “Ah, komunikasi mah cuma belajar ngomong.” Yaudah kalau gitu, akan saya ceritakan lika-liku jadi anak Ilmu Komunikasi. Siapkan kamera, bikin proyek bisnis, brainstorming ide kampanye, revisi press release, sampai belajar bikin majalah.
Eh, bukan ya? Hahaha. Kalau gitu, siapkan pikiran yang disiram sama cerita saja, yokz-
Perjalanan Penelitian Tesis si Mahasiswa Komunikasi
Di kampus saya, penelitian komunikasi punya pola yang cukup khas. Analisis wacana, semiotika, dan framing adalah primadona.
Mahasiswa biasanya ditugaskan menganalisis berita, pidato presiden, atau siniar dengan metode tersebut. Lalu, mereka akan melibatkan pakar untuk mengabsahkan data yang terkumpul. Sederhana? Mungkin. Tapi kalau sudah mulai, sering terasa seperti petualangan tak berujung.