"Santi...," katanya dengan nada yang terdengar menggoda. Dia mulai memandangiku dari atas kepala hingga kakiku. "Gambar di kaosmu sangat imut seperti kamu, dan sweater pink-mu semakin membuatmu nampak begitu mempesona."
      Aku bisa merasakan wajahku semakin memerah karena perkataannya yang tiba-tiba dan apa adanya membuat jantungku berdebar kencang. "Te---terima kasih," sahutku dengan setengah tersenyum.
      Sesaat, aku melihat tangannya---juga badannya---sedikit bergetar. Aku bingung kenapa baru sekarang badannya menggigil kedinginan. "Uh... bolehkah kamu mendekat sedikit? Badanku masih kena tetesan hujan, lho," katanya.
      Dengan cepat aku pun mendekatinya karena dia kali ini tidak ingin kehujanan. Kini Septian hanya berjarak beberapa senti. Aku bisa melihat lentik bulu matanya, kedua alis yang melengkung dan hamnpir tersambung, menghiasi tatapan tajam matanya. Aku juga mendapati tahi lalat kecilnya yang menempel di pipi kanannya, yang sulit dilihat jika tidak sedekat ini.
      Oh, tidak! Aku menatapnya terlalu lama! Aku langsung mengalihkan pandanganku di sebelah kananku, menyaksikan ribuan tetesan hujan jatuh dan menciptakan gelombang-gelomnbang indah di atas sungai. Aku ingin tahu tentang hidupnya, itulah yang aku rasakan saat ini.
      Tiba-tiba, aku mendengar suara endusan yang sedikit mengekejutkanku. Aku melihat ia sedang mencium sesuatu, begitu dekat dengan wajahku, hingga sejengkal jari saja bibirku bertemu dengan bibirnya....
      Septian mundur sesaat seraya tersenyum. "Aromamu wangi sekali! Parfum apa yang kamu pakai?"
      "Aku... meraciknya sendiri."
      "Wow, keren! Sepertinya kamu gadis yang serba bisa." Kali ini suaranya terdengar lebih hidup, tidak sedatar tadi. Ah..., sepertinya aku bisa membuatnya lebih bersemangat lagi!
      "Terima kasih. Tapi, aku tidak serba bisa juga," sahutku. "Kamu keren juga, kok. Kaos hitam yang kamu pakai menggambarkan kamu seperti sedang dalam kesedihan."
      "Jadi, menurut kamu aku keren kalau aku sedang tertekan?"