Mohon tunggu...
Teresia Simbolon
Teresia Simbolon Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari Kebijaksanaan

Kamu adalah kreasi dan proyek terbesar Sang Penciptamu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengakui Kesalahan, Sulitkah?

4 Februari 2021   16:52 Diperbarui: 4 Februari 2021   17:42 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus mencium kaki Presiden Sudan /tempo.co

 Suatu hari ketika selesai makan bersama dengan teman-teman sekomunitas, pemimpin kami berdiri di tengah kamar makan. Semua komunitas tahu bahwa tidak ada moment untuk atau pengumuman yang perlu pada hari itu. Batin kami masing-masing penuh dengan tanda tanya, 'ada apa ini?', 'apa yang terjadi?', tidak ada yang pesta nama, atau ulang tahun, atau agenda mau ke luar kota, tidak seperti  biasanya. Sembari menghirup nafas secara perlahan, kemudian dia mengutarakan maksudnya. Dia meminta maaf karena dia telah melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan karena terlalu keras menegur seorang saudari yang melanggar pantang dietnya. 

Pasalnya saudari itu mengidap penyakit diabetes, namun ketika makan dia bosan dengan menu dietnya, lalu mengambil daging yang berlemak dan nasi dengan porsi besar.  Sehingga akibatnya menjadi  tidak terlalu enak untuk orang yang menerima teguran tersebut. Meski tujuannya baik namun karena caranya terlalu keras. 

Kami terperangah menyaksikan peristiwa itu, kadang-kadang kami saling memandang di antara kami, ketika di masih dengan hati tulus meminta maaf.  Secara umum, kami semua punya pemikiran yang sama dengannya, yakni setiap orang yang sakit harus menjaga kesehatannya sendiri dengan cara mengikuti saran dari dokter. Sebenarnya, seandainya dia tidak berdiri untuk mengakui kesalahannya, kami merasa itu sah-sah saja. 

Tetapi apa yang telah dilakukan oleh pemimpin kami pada hari itu berkesan dan sekaligus merasa ditegur juga, bagaimana seharusnya cara memperlakukan orang sakit. Namun untuk saya,   kejadian hari ini  mengingatkan saya akan seorang pemimpin besar dan berpengaruh pada abad pertengahan, yakni seorang Fransiskus D'Asisi. 

Salah satu ciri-ciri orang dewasa itu adalah sanggup mengakui kesalahan, sanggup mengakui berarti bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat. Sebenarnya ada banyak juga alasan mengapa orang tidak sanggup mengakui kesalahan. Misalnya, merasa takut orang lain tidak akan menerima pengakuannya, merasa rendah martabatnya jika harus mengakui kesalahan (mengakui kesalahan kepada bawahan), atau alasan harga diri. 

Fransiskus D'Asisi (1811-1842), seorang revolusioner pada abad pertengahan, mengatakan kepada pengikutnya, "setiap kali bersalah, janganlah menunda-nunda untuk bertobat dengan membangkitkan penyesalan dalam batin dan menyatakannya dengan mengakui kesalahan".  Dia yang memberikan petuah ini sekaligus juga pelaksana. Setiap kali merasa bersalah, dia sesegera mungkin meminta maaf. 

Salah satu 'penyakit' zaman now ini adalah memiliki perasaan tidak bersalah. Keberanian diri untuk meminta maaf  dan menanggung segala resikonya adalah sebuah penghargaan akan diri sendiri dan orang lain. Penyakit sosial ini telah berkembang subur  sehingga mengarah kepada 'kebiasaan'. 

Ada banyak alasan untuk mengakui kesalahan, entah karena salah dalam melakukan sistem, salah prosedur, salah ditutur, salah persepsi dan lain-lain. Dengan meminta maaf berarti membebaskan batin dari rasa bersalah dan membangkitkan kepercayaan dalam diri orang lain. Keberanian ini juga menjadi teladan hidup yang efektif, untuk mengajari orang lain bagaimana harus mengakui kesalahan. Karena   menutupi kesalahan bukanlah sebuah sikap yang bijaksana.   Menjadi pemimpin bukan mustahil  salah dalam membuat keputusan, karena dia pun seorang manusia.  Entah itu karena kesalahan kecil maupun kesalahan besar.

Pada dasarnya ketika orang melakukan kesalahan entah kesalah kecil atau kesalahan besar akan membawa hal negatif dalam batin. Ketika melakukan salah,  batinnya tidak  tenang,   suara hati tidak diam. Namun pikiran sering mengalahkan hati dan perasaan, meskipun dalam alam bawah sadar kesalahan itu akan selalu mengikuti kemanapun pergi. Akan ada rasa was-was apakah orang lain sudah tahu kedok atau kesalahan yang telah diperbuat. Padahal efek dari berbohong itu sangat fatal, yakni  sekali berbohong Orang tidak mudah untuk percaya untuk kedua kalinya. Atau orang lain akan berpikir dua kali untuk kembali percaya. 

Pertanyaan mendasar, mengakui kesalahan itu mudah atau tidak? Bagi saya sendiri, mengakui kesalahan itu gampang-gampang susah tergantung situasi dan kondisi. Mengakui kesalahan itu kepada orang yang bersangkutan, membutuhkan energi yang luar bisa dari batin hingga dapat meminta maaf dengan tulus. Perasaan takut ditolak pasti ada, namun semakin menutup kesalahan, semakin membuat hati tidak tenang dan pikiran mudah kacau. Seperti ungkapan hati  

Pemazmur sejak zaman sebelum masehi mengatakan "Selama kusembunyikan dosaku batinku tertekan dan aku mengeluh sepanjang hari".  Hal ini menunjukkan  bahwa Kalau dengan jujur mengakui, sekecil apapun kesalahan yang terlanjur dilakukan sungguh sangat mengganggu, apalagi kesalahan besar. Misalnya membohongi orang yang di kasihi, entah anak, isteri, suami, kekasih, sahabat dan diri sendiri. Memang nyata lah  pengalaman si Pemazmur itu. Orang yang terlanjur berbohong pasti ada penyesalan di dalam hatinya, dia akan menghukum dirinya sendiri meski tidak selalu diketahui oleh orang lain. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun