Mohon tunggu...
Khulfi M Khalwani
Khulfi M Khalwani Mohon Tunggu... Freelancer - Care and Respect ^^

Backpacker dan penggiat wisata alam bebas... Orang yang mencintai hutan dan masyarakatnya... Pemerhati lingkungan hidup... Suporter Timnas Indonesia... ^^

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menilik Hutan Sosial, Benteng Ekonomi di Batas Negara

10 Agustus 2017   14:05 Diperbarui: 20 Februari 2019   09:42 2438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dulu banyak hutan di kampung ini. Awal tahun 2000-an, di sini ramai-ramai orang menebang pohon. Kampung lain pun juga. Ribuan gelondong kayu dibawa menyeberang ke Malaysia lewat Badau pakai truk-truk besar. Pak Aden juga ikutan. Jalan di desa Mensiau ini, Pak Aden dulu ikut membuat," cerita pak Aden saat kami sampai di atas tanah berbukit di ujung lahan warisan leluhurnya.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Wah berarti pak Aden ikut terlibat illegal logging juga?" tanyaku sambil tersenyum.

"Iya, tapi itu dulu. Sekarang Pak Aden bergabung dengan program Forclime. Tahun lalu bukit sebelah sudah pak Aden tanami karet, tekam dan gaharu. Sekarang yang ini baru pak aden tanami gaharu, karet, tekam, gamal, klengkeng, sahang atau lada, jagung, sayur-sayuran dan bumbu dapur lainnya. Di bawahnya mengalir sungai kecil. Pak Aden bendung sedikit, untuk kolam tempat pelihara ikan. Seperti yang diajarkan pak Tedja, Pak Aden ingin jadikan tempat ini sebagai demplot agar masyarakat bisa belajar agroforestri dan silvofisheri," ujar pak Aden sambil menunjuk hamparan lahan di depan kami.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
"Sebelum masyarakat diajarkan cara menanam dan memupuk, sebagai fasilitator desa, Pak Aden harus menanam duluan dan memberi contoh. Tahun lalu, untuk desa Mensiau ini, ada 29 ribu bibit tekam dan karet sudah kita bagikan. Semua kita tanam," lanjutnya sambil mengenakan kembali raga'di punggungnya,tas keranjang rotan yang biasa ia pakai untuk mengangkut bibit.

"Super sekali," batinku.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Namanya Mardianus Aden, salah seorang fasilitator desa dalam proyek Demonstration Activity (DA) pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) Forclime FC di desa Mensiau, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu. Tutur katanya yang sederhana namun lugas cukup mampu memberikan gambaran orang desa yang memiliki tekad besar untuk maju dan berkembang.

Bukan suatu kebetulan tentunya, jika semalam saya bisa menginap di Rumah Betang Suku Dayak Iban, di dusun Kelawik. Di mana pak Aden dan istrinya, beserta 20an kepala keluarga lainnya tinggal bersama dan bersandingan. Lalu pagi ini saya bisa ikut ke lahan kritis di desanya, yang mereka coba untuk membangunnya kembali.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Berawal dari acara pameran international forest day pada bulan Maret di Jakarta, saya berkenalan dengan teman-teman yang tergabung dalam National Programme Management Unit, Forclime FC. Sederet poster, brosur, buku serta video tentang upaya membangun hutan dan masyarakatnya di tiga kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga Malaysia di jantung Kalimantan menarik minat saya untuk menyambangi salah satunya. 

Maka sampailah saya di Putussibau. Sebuah kota kecil ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Dua kali penerbangan untuk mencapainya dari Jakarta.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di Putussibau, saya bertemu dengan pak Sutedja selaku program advisor di wilayah Kapuas Hulu, dia menjelaskan tujuan dari project Forclime FC adalah untuk melaksanakan strategi konservasi dan pengelolaan hutan lestari yang menghasilkan pengurangan emisi karbon (CO2) dari deforestasi dan degradasi hutan sebesar 400 ribu eTCO2. 

Namun demikian, sebenarnya tujuan utamanya tidak hanya itu, melainkan bagaimana agar hutan yang dulunya dirambah oleh illegal logging dan terbakar kini bisa dibangun kembali melalui mekanisme pembiayaan, dan sejalan dengan itu ekonomi masyarakat di desa juga tumbuh dan angka kesenjangan dapat berkurang, melalui peningkatan kapasitas masyarakat desa hutan, reboisasi dan penghijauan, agroforestri, pembinaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta penguatan kelembagaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun