Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasi Uduk Ibu Novi, di Sana Untung di Sini Mujur

18 Desember 2020   11:30 Diperbarui: 18 Desember 2020   12:54 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamis, 17/12/2020, saya sarapan pagi bersama seorang rekan kerja di sebuah kedai kopi yang sudah menjadi langganan tongkrongan kawan sekantor sesaat sebelum bekerja di pagi hari. Rekan saya ini pernah menjadi seorang jurnalis televisi, sebelum menjadi pegawai negeri.

Mungkin naluri jurnalisnya sudah sedemikian kentalnya. Dia sangat peka melihat bahan liputan yang unik nan inspiratif dalam realitas sehari-hari, yang sering luput dari perhatian khalayak. Rekan saya ini, Sejahtera Pandia, adalah seorang kompasianer yang suka bekerja dalam diam.

Dia menjadi kompasianer tepat sehari setelah pengumuman daftar nominasi kusala terbaik dalam jurnalisme warga pada perhelatan Kompasianival 2020 saya sampaikan kepadanya, pada 16 November 2020 yang lalu. Dia mau mendukung saya. Begitulah rekan yang baik ini selalu memberikan dukungan terbaiknya, untuk hal apa saja, sepanjang saya mengenalnya.

Saya juga sering mendorongnya untuk ikut menulis, tapi sampai hari ini, satu tulisan pun belum pernah dia kirim ke Kompasiana. Rekan saya ini, bang Jahtra atau bang Tera, adalah seorang yang piawai dalam video editing dan fotografi. Mungkin ini adalah hasil didikan keras dan perjuangan yang gigih saat menjadi reporter dan kameramen saat menjadi jurnalis televisi dulunya. Dia dapat dijumpai pada akun ini.

Oh ya, kita akhiri saja ulasan tentang dia. Saya yakin suatu saat dia pasti menulis di Kompasiana, setidaknya di kolom kategori video. Sebab dia adalah juga seorang YouTuber dan selebgram yang mumpuni. Bagi yang tertarik berkenalan dapat menemuinya pada akun YouTube ini. Akun Instagramnya silakan cari sendiri, lagi pula tulisan ini bukan tentang dia, tapi tentang ibu Novi.

"Eh, di jalan Samura ada seorang penjual nasi uduk yang inspiratif, lho!" katanya.

Itu adalah nama seruas jalan di pinggiran kota kami, Kabanjahe. Jalan itu adalah akses menuju sebuah stadion sepak bola kebanggan kami, Stadion Sepak Bola Samura, namanya. Juga adalah jalan menuju sebuah desa bernama Desa Samura, Kecamatan Kabanjahe.

"Mungkin, itu bagus dijadikan liputan oleh seorang jurnalis warga, kalau kam berminat," katanya lagi. "Kam" adalah sebutan sopan dalam bahasa Karo untuk menyatakan kata ganti orang kedua, sama dengan "kamu" dalam bahasa Indonesia. Uniknya sebutan ini bisa dipakai sekaligus sebagai kata ganti orang kedua, baik tunggal maupun jamak, yang bernada halus.

Kata ganti yang agak lebih kasar adalah "engko" (engkau, dalam bahasa Indonesia). Uniknya lagi, justru dalam "kekasarannya", kata ganti engko ini justru bernada lebih akrab. Uh, tinggalkan dulu persoalan bahasa ini. Karena tulisan ini bukan soal bahasa, tapi soal makanan dan kemanusiaan.

"Oh ya, kebetulan. Aku lagi mencari hal yang seperti itu!" kataku bersemangat. Hampir saja wajahnya kecipratan air teh manis yang kami pesan menemani sarapan bersama dua porsi bihun goreng pakai telur. Bihun goreng ini adalah sebuah warisan dari seorang opa Tionghoa yang kini sudah tiada, kepada cucu "non biologis"-nya. Cucunya, yang dulunya bekerja untuk si opa ini, adalah seorang gadis bukan Tionghoa, yang sudah mahir memasak, menyamai almarhum kakeknya itu.

Namun, tulisan ini pun bukan soal bihun goreng telur. ini adalah soal sisi kehidupan manusia dalam sebungkus nasi uduk, buatan ibu Novi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun