Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Air Mata Syukur Tiada Akhir, bagi Dia yang Memandang Kompas sebagai "Sekolah Dosa"

10 September 2020   15:46 Diperbarui: 10 September 2020   15:50 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber : KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo)

Romo Sindhu, yang memimpin misa prosesi pemakaman jenazah Pak Jakob Oetama, merasa tidak perlu lagi mengulang satu persatu kesan yang timbul atas sosok besar dari seorang Pak Jakob. Romo Sindhu lebih ingin melihat sisi keimanan Pak Jakob yang menjadi kompas hidup dan melekati jiwa dan raganya selama kiprahnya membesarkan Kompas.

Romo bersaksi bahwa suatu ketika Pak Jakob berkata bahwa Kompas adalah ladang Tuhan untuk menyatakan kebaikan bagi banyak orang. Lebih jauh katanya, Pak Jakob bahkan memandang Kompas sebagai sekolah dosa.

Yang dimaksud oleh Pak Jakob menurut Romo, bukan untuk menyatakan bahwa Kompas sebatas sebagai tempat bagi orang berdosa. Namun, itu adalah tempat dimana ia bersama rekan-rekannya mengalami rahmat pengampunan Allah.

Kesaksian itu menyatakan kebenaran kalimat dari seorang rasul bernama Paulus, sebagaimana tertulis pada kitab Roma pasal 5 ayat 20 "...dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah." Sebagaimana Dia mencurahkan hujan, baik bagi orang jahat atau orang yang baik.

Dalam kehidupan nyata, pengakuan ini tampak dalam rupa pengenalan diri sebagai seorang yang memandang dirinya rendah dan tidak layak di hadapan Tuhan. Membuat seseorang merasa ditusuk hatinya pada bagian yang terluka. Luka yang hanya bisa disembuhkan oleh Tuhan sendiri.

Menjalani kehidupan dengan pergulatan perasaan sebagai insan yang rapuh, yang selalu merasa berselimutkan serpihan luka akibat dosa. Akibat kehendak kedagingan di tengah kehidupan dunia yang tidak selalu serba lurus dan mulus, hingga melahirkan kegelisahan tiada henti. Namun, membuatnya dimatangkan untuk tidak menjadi manusia munafik.

Hari ini, dalam apel persada mengantarkan jasadnya menuju haribaan ibu pertiwi di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, mereka yang mencintainya ikut bergumam dalam doa-doa dengan caranya yang berbeda-beda, "Kami mempersembahkan jiwa, raga dan jasa-jasanya ke pangkuan ibu pertiwi".

Dalam khotbah Romo Sindhu, ia menceritakan bahwa Pak Jakob yang seringkali menitikkan air mata mana kala menceritakan tentang keluarganya dan anak-anaknya yang sudah menjadi sarjana. Itu adalah air mata ungkapan syukur tiada akhir, dari seorang yang memandang Kompas sebagai sekolah dosa.

Kini, ia yang telah tiada, menuju Keabadian yang akan membalut luka dan menggantinya dengan syukur yang tiada akhir. Pak Jakob telah menjadi alat kerahimanNya, menyatakan rahmat bagi siapa saja yang ditemuinya selama hidupnya, sambil mengucapkan doa, "Ke dalam tanganMu ya Tuhan, kuserahkan hidupku".

Sungguh, hidup seperti itu adalah sebuah penyerahan dalam bahagia. Kehidupan dengan ungkapan syukur yang tiada akhir. Hidup keseharian yang menjadi khotbah yang hidup, sekalipun dia sudah tiada.

Selamat jalan Pak Jakob Oetama, beristirahatlah dalam damai.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun