Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Toilet: Ek Prem Katha", Kalau Menginginkan Istrimu, Kau Harus Punya Toilet di Rumah

15 Desember 2019   02:42 Diperbarui: 15 Desember 2019   03:24 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akshay Kumar dan Bhumi Pednekar dalam Toilet: Ek Prem Katha (Sumber: https://m.media-amazon.com/images)

Masalahnya adalah, tidak ada toilet di rumah-rumah di kampung itu, bahkan toilet umumpun tidak. Para wanita harus pergi ke sebuah lapangan terbuka bersemak-semak agak jauh dari desa pada pagi-pagi buta kalau hendak buang air besar. Karena kalau sudah siang dan seterusnya itu adalah waktu bagi laki-laki, yang sebenarnya bebas mau melakukannya kapan saja dan di mana saja di kampung itu.

Lapangan terbuka itu sebenarnya tidak jauh juga dari rel kereta api. Jadi sebenarnya masalah toilet itu adalah sebuah masalah sepele yang terjadi di sebuah negara yang sebenarnya juga sudah maju dipengaruhi perkembangan zaman. Namun, masalah toilet ini menjadi rumit, karena bukan saja berbicara tentang bangunan fisik toilet dan seluruh kelengkapannya yang tidak diterima oleh masyarakat desa, tapi karena orang-orang desa itu terperangkap dalam benturan paradigma antara fakta masalah sanitasi, higienitas, kriminalitas, ekologis dengan masalah moral, agama dan budaya yang diputarbalikkan dan disalahgunakan untuk kepentingan dan tujuan tertentu dari masing-masing pihak yang terkait.

Benturan itu tampak dalam pandangan warga desa yang tradisionil terhadap Jaya yang dianggap terlalu banyak pendidikan. Hal itu tidak bagus karena menjadikannya tampak melampaui agama dan budaya.

Jaya yang kecewa karena merasa Keshav tidak jujur dari awal tentang masalah toilet ini, sangat tersiksa bahkan cenderung merasa terhina. Apalagi pada suatu pagi hari buta, saat Jaya sedang berjongkok di semak-semak di dekat selokan pinggir jalan, membuang air besar, lewatlah ayah mertuanya yang sedang mengendarai motor dengan sorot lampu menyala. Mungkin ia pun baru pulang dari membuang hajat di semak-semak bagian lainnya sesaat yang lalu. Jaya memang sempat menutupi mata dan kepalanya tapi tidak mungkin dengan bokongnya. Bapak mertuanya pun terkejut dan terjerembab ke semak-semak.

Sakitnya mungkin tidak seberapa, tapi malunya tentu bukan main malu rasanya. Buktinya sejak saat itu, Keshav pun merasa tidak penting lagi memakai kerudung menutup kepalanya di dalam rumah hanya demi simbol semu budaya untuk menghormati bapak mertua yang bahkan telah melihat bokongnya, dan besok, lusa dan hari seterusnya entah oleh siapa lagi. Ayah Keshav, yang bapak mertua Jaya, tentu saja sangat berang dengan perubahan ini. Ia menganggap sikap ini sebagai sebuah pemberontakan yang sudah sangat melampaui batas.

Jaya juga mengeluh kepada suaminya. Kata Jaya kepada Keshav sudah sejak lahir ia menggunakan toilet, mengapa ia harus mengubah kebiasaannya setelah menikah. Maksudnya mengapa ia harus membuang air besar sembarangan justru setelah menikah.

Keshav mencari sebuah solusi. Setiap pagi ia mengantar istrinya ke stasiun kereta api. Di sana ia bisa menggunakan toilet yang ada di gerbong kereta, yang setiap pagi berhenti selama 7 menit di stasiun itu sebelum melanjutkan perjalanannya. Tapi kata Jaya itu hanya solusi sementara dan tidak menyelesaikan masalahnya. Ia meminta ada toilet di rumahnya.

Bahkan secara terang-terangan, Jaya yang nekad minggat dari rumah mertuanya menggugat nurani wanita-wanita yang sudah menikah lainnya, yang tampak pasrah meskipun diperlakukan diskriminatif hanya atas dasar ajaran agama dan budaya.

Jaya menggugat: "Mengapa hanya perempuan yang harus selalu mengalah sementara lelaki bebas melakukan apa saja yang dia suka? Bila laki-laki bebas buang air besar pada siang hari, mengapa perempuan harus mempertaruhkan harga diri dan bahkan keselamatannya dengan pergi saat hari masih pagi-pagi buta, untuk berjongkok di semak-semak."

Lagi sambungnya: "Bila ada laki-laki yang lewat, kita hanya bisa menutupi mata dan kepala, bukan bokong kita. Dan mereka mungkin hanya akan berkata kepada teman-temannya keesokannya, aku hanya melihatnya sekilas, tapi aku tidak tahu itu siapa, karena aku tidak melihat wajahnya."

Barangkali, perlakuan diskriminatif yang demikian bagi kaum perempuan di India, adalah salah satu penjelasan mengapa sering kali kita dengar ada tindak kriminal perkosaan terhadap perempuan, bahkan anak gadis yang dibakar keluarganya sendiri hanya gara-gara menikah dengan pasangan yang lain kasta misalnya, selain masalah toilet seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun