Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimanakah Memaknai Natal, bila Mengingat Hari Kematian Lebih Baik daripada Hari Kelahiran?

19 November 2019   14:13 Diperbarui: 19 November 2019   18:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Nativity by Greg Olsen via catholicforlife.com

Bukankah Dia yang dirayakan kelahiranNya itu justru pernah berkata bahwa "Apa yang kita perbuat bagi saudara kita yang paling miskin dan hina adalah juga perbuatan kita kepadaNya?" 

Menutup tulisan menyambut hari-hari perayaan Natal yang akan datang ini, saya mengutip bagian tulisan dari sebuah esai yang ditulis oleh Ahmad Yulden Erwin, berjudul "Deus Sive Natura", Tuhan atau Alam, katanya "Cinta, mungkin salah satu dari hal yang sungguh-sungguh layak dipertahankan dan diperjuangkan. Itulah sebabnya, di akhir perjalanan menempuh 'peta imajinatif', para spiritualis besar dunia hanya bicara soal etika, perihal yang sungguh-sungguh nyata. Mereka hanya bicara bagaimana menurunkan surga ke bumi, ke tempat kita kini tinggal, di rumah kita sendiri. Mereka bicara soal mengasihi sesama, menghormati perbedaan, berbagi kebaikan, mewujudkan keadilan, mencipta keindahan demi membuktikan bahwa kebermaknaan hidup adalah soal kebergunaan yang seluas-luasnya bagi sesama."

Maka, di mana pun itu dan dalam bentuk apa  pun, mungkin menjadi tidak terlalu penting untuk mempertanyakan bagaimana sebaiknya memaknai Natal, sepanjang di dalamnya tetap mempertahankan dan memperjuangkan cinta kasih yang memberikan makna dalam hidup dengan sesama.

Ahmad Yulden Erwin adalah seorang penulis yang lahir di Tanjungkarang, pada 15 Juli 1972. Ia aktif menulis puisi dan prosa sastra sejak tahun 1987. Pada tahun 1997, ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung.

Beberapa puisinya pernah diterbitkan di media massa lokal dan nasional, juga dalam beberapa antologi puisi bersama di antaranya: Memetik Puisi Dari Udara (1987), Jung (1994), Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Festival Januari (1996), Refleksi Setengah Abad Indonesia (1995), Dari Huma Lada (1996), Mimbar Penyair Abad-21 (1996), Cetik (1999), dll. Setelah tahun 1999 praktis ia berhenti memublikasikan puisi-puisinya dan lebih banyak aktif di gerakan sosial antikorupsi sampai saat ini.

Pada tahun 1992, ia menjadi juara III dalam Lomba Cipta Puisi Islami "IQRA" tingkat nasional, dengan juri H.B. Jassin. Tahun 1995, ia menjadi juara I dalam Lomba Cipta Puisi pada Pekan Seni Maha-siswa Nasional ke-III di Jakarta. Selanjutnya, November 2006, puisinya yang berjudul "Cermin Fansuri" meraih penghargaan 15 besar (peringkat kedua) dalam lomba cipta puisi tingkat nasional oleh Direktorat Kesenian.

Sejak tahun 2012, ia mulai aktif kembali menulis puisi. Pada tahun 2013 beberapa puisinya telah dipublikasikan di beberapa media massa seperti Lampung Post, Kompas Minggu, Koran Sindo, dan Koran Tempo. Ia aktif memberikan pelajaran menulis bagi siapa saja, melalui semacam workshop dunia maya di akun Facebook-nya, yang dia asuh dengan nama Akademi Menulis.

Referensi: kabarkampus.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun