Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimanakah Memaknai Natal, bila Mengingat Hari Kematian Lebih Baik daripada Hari Kelahiran?

19 November 2019   14:13 Diperbarui: 19 November 2019   18:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Nativity by Greg Olsen via catholicforlife.com

Kalau memang bukan begitu maknanya, maka mungkin akan sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia memang eksklusif hanya lahir bagi mereka yang mempercayainya sebagai Juruselamat. Dalam pandangan yang demikian, barangkali memang tidak salah merayakan Natal di hotel-hotel. Bukankah hotel adalah sebuah tempat yang eksklusif dan cocok bagi para eksekutif atau golongan yang eksklusif?

Kalau demikian halnya, tidakkah itu menjadi sebuah perayaan yang tidak relevan dengan maksud dan tujuan kedatangan Sang Juruselamat sendiri, yang justru memilih tempat lahir yang paling hina?

Tampil dalam narasi yang tampak mencela eksklusivitas, sebenarnya tidak serta merta bahwa ia yang mencela adalah orang yang paling benar. Setidaknya itu menegaskan bahwa banyak nilai yang berbeda dalam diri setiap manusia. Apalagi cara yang paling baik untuk menyerap dan menyamaratakan berbagai perbedaan selain menjadi orang atau sesuatu yang paling rendah dan paling hina? Adakah orang paling hina dan paling miskin dicemburui dalam kehinaan dan kemiskinannya? Yang umum terlihat justru orang hina dalam kemiskinannya cenderung diremehkan meskipun ada sebagian kecil lainnya yang dikasihani.

Kalaupun ada yang cemburu kepada si miskin dan si hina, itu hanya kembali menegaskan bahwa menjadi miskin dan hina pun tidak menjadi jaminan bahwa mereka yang hina dalam kemiskinannya sudah pasti aman dalam menjalani hidupnya. Bahkan Raja Herodes dalam jubah kebesaran dan tahta singgasananya merasa terancam dengan kelahiran seorang bayi mungil dalam palungan di sebuah kandang hina. Lalu apa maksud dan tujuan seorang juru selamat memilih mempermalukan dan membahayakan dirinya sendiri bila kehinaan dan kemiskinan tidak juga menjaminnya dengan sebuah rasa aman?

Demikianlah ironis dan terkadang tragisnya kehidupan yang menanti di depan suatu hari kelahiran. Bayi baru lahir yang menangis adalah simbolisasi penderitaan yang harus dijalani, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda, dalam sebuah kehidupan di dunia yang fana. Memang, dalam hidup selalu saja ada yang membahagiakan dan juga ada yang menyedihkan. Untuk semua hal ada masanya di dalam hidup. Ada masa menanam dan ada masa memanen, ada masa tertawa dan masa menangis, ada suka dan ada duka.

Dia yang berada di dalam kemuliaanNya, tapi dengan kerelaannya sendiri justru memilih untuk merendahkan dirinya, menjadi serupa dengan manusia, bahkan memilih gambaran dalam rupa seorang hamba yang hina, pertama kali menampakkan diriNya kepada para gembala di padang rumput Efrata. 

Kehidupan tidak bisa tidak akan selalu menghadapkan manusia kepada pilihan-pilihan. Dia yang termulia memilih menjadi orang yang hina memberi makna bahwa keselamatan bagi mereka yang sering kali terlupakan karena diremehkan dalam kemiskinan dan kehinaannya, hanya menjadi mungkin bila yang mulia mau merendahkan dirinya menjadi hina dina.

Tidak banyak atau mungkin nyaris tidak ada raja yang mau dan mampu melakukan itu. Lalu, bila tahun ini kita kembali dibawa kepada perayaan Natal dengan maksud dan tujuan yang berkebalikan dengan maksud dan tujuan sebenarnya pada lebih dari 2.000 tahun lalu yang lalu itu, tidakkah itu berarti bahwa kita secara sadar atau tidak, telah membawa maksud dan tujuan itu menyimpang semakin jauh dari maksud dan tujuan sebenarnya kelahiran itu sendiri?

Katakanlah ada Natal untuk para hamba-hamba, atau gembala-gembala, atau perayaan Natal dari orang-orang dalam profesi yang dikatakan para pelayan publik. Tapi bila perayaannya sendiri terjadi dalam tampilan eksklusif yang berlangsung di sebuah tempat yang eksklusif pula, tidakkah ini menjadi patut untuk direnungkan, "Siapakah sebenarnya yang dikatakan hamba, gembala dan pelayan?"

Bila ternyata pertanyaan ini relevan dengan fakta yang peka dengan rasa, maka bukannya tanpa alasan mengapa kita sering kali tidak merasakan adanya kehadiran orang-orang yang disebut atau menyebut dirinya sebagai hamba, gembala atau pelayan. Kecuali dalam artian sebenarnya, mereka yang menjadi hamba, gembala dan pelayan, adalah mereka yang memang sehari-harinya bekerja dalam kehinaan dan kemiskinannya. Di luar dari mereka, pada faktanya mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai hamba, gembala dan pelayan, hanya ada dalam kata-kata. Lebih tepatnya, di bidang apapun dan dilevel manapun, yang ada hanyalah pejabat.

Tidak heran kalau Natal dirayakan berulang dan berlangsung dalam ruang dan waktu yang nyaris tanpa makna. Sebab, menjadi tidak menarik bila pembenaran dibungkus dalam kelit argumentasi bahwa kemewahan dan keakbaran dalam perayaan itu adalah sebuah ungkapan ekspresif ucapan syukur atas kelahiranNya yang agung dan patut dirayakan. Kecuali di dalamnya turut diiringi keagungan dalam kemewahan dan keakbaran tindakan yang berguna bagi mereka yang hina dalam kemiskinannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun