Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bagaimanakah Memaknai Natal, bila Mengingat Hari Kematian Lebih Baik daripada Hari Kelahiran?

19 November 2019   14:13 Diperbarui: 19 November 2019   18:54 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Nativity by Greg Olsen via catholicforlife.com

Hari Natal adalah momen peringatan kelahiran Yesus Kristus di kandang domba. Tidak hanya sebatas peringatan, Natal juga biasa dirayakan. Salahkah bila kita memaknai hari peringatan itu dengan merayakannya di hotel berbintang?

Pertanyaan klise dan sederhana itu hanya sekadar pintu masuk untuk mempertanyakan sejauhmana relevansi pemaknaan atas nilai esensial kelahiran Yesus Kristus, juru selamat manusia, dalam hubungannya dengan pemaknaan atas panggilan tugas, pekerjaan ataupun profesi di bidang apa saja, dari orang-orang yang ikut merayakan Natal. Relevan atau tidaknya makna atas peringatan dan/ atau perayaan ini dengan kenyataan kehidupan kita kini, mempunyai hubungan dengan nilai yang terkandung dalam pandangan yang mengatakan bahwa "Adalah lebih baik mengingat hari kematian daripada hari kelahiran?"

Ketika tiba pada waktu-waktu menjelang akhir tahun, suasana yang tampak pada lingkungan kerja, di pasar-pasar, di gereja-gereja, bahkan dalam gambaran ibu-ibu dan anak-anak gadisnya di rumah-rumah tangga, yang telah mulai membuat aneka kue menyambut peringatan atau lebih tepatnya perayaan natal dan tahun baru, mungkin tidak jarang menghadirkan perasaan deja vu bagi sebagian kita, di hari-hari menjelang akhir tahun. Bila benar adanya, bahwa lebih baik mengingat hari kematian daripada hari kelahiran, maka ada baiknya kita juga berdoa "Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana."

Waktu-waktu berlalu, bermacam bentuk peringatan dan perayaan Natal telah berulang kali diperingati dan dirayakan, itu pun berlalu. Berlalu dalam peringatan dan perayaan yang diikuti oleh seseorang terkadang bahkan bisa berulang-ulang dalam satu periode perayaan, selama bertahun-tahun. Lalu, kalau semua peringatan dan perayaan ini menjadi kurang terasa maknanya, tidakkah ini juga berarti pengingkaran atas sebuah makna esensial yang telah terjadi berulang-ulang?

Kalaulah peringatan atau perayaan Natal hadir dalam ibadah dengan tema khotbah yang terkait dengan pengabdian, bukankah Natal tanpa makna yang berulang-ulang itu adalah bentuk pengingkaran atas nilai esensi pengabdian? Atau bila temanya tentang pelayanan, bukankah itu adalah bentuk pengingkaran atas nilai esensi pelayanan? 

Atau bila temanya tentang kasih dan sukacita, bukankah Natal tanpa makna yang berulang-ulang itu adalah juga bentuk pengingkaran atas nilai esensi kasih dan sukacita? Atau jangan-jangan yang ada hanyalah pengabaian, hipokrasi dan pemborosan yang berulang-ulang? Mungkin banyak daftar bernilai negatif lainnya.

Bila mengingat hari kematian adalah lebih baik daripada mengingat hari kelahiran, maka barangkali secara lahiriah, hal itulah yang terlihat mana kala orang-orang tua dan keluarga yang sedang menantikan kelahiran seorang bayi, tampak menunggu dengan harap-harap cemas dan tak jarang bersorak girang saat bayi itu lahir. Ironisnya, si bayi lahir dengan iringan tangisan kerasnya sendiri. 

Sementara itu, orang-orang dan keluarganya biasanya tampak murung dalam kepiluan, bahkan penuh dengan derai air mata dan isak tangis, mana kala ia menatap jenazah dari orang yang dicintainya. Ironisnya, hal itu terjadi justru bersamaan dengan saat ia masih mampu mengatakan, bahwa dia yang mati adalah orang yang beristirahat dalam damai. Rest in Peace. Apa yang normal dari menangisi istirahat dalam kedamaian selain ironis itu sendiri?

Sejenak memunggungi ironi, kita menoleh ke rohani. Membandingkan antara hari kelahiran dan hari kematian, bisa dipakai untuk menyajikan sebuah perenungan, bahwa hari-hari dalam kehidupan yang akan disambut oleh jiwa yang baru lahir, adalah hari-hari kehidupan fana yang tidak bisa jauh-jauh dari beragam kepiluan dan penderitaan. Sementara itu, "hari-hari kehidupan" yang menanti jiwa yang melepaskan kefanaan dari raga yang dipisahkan oleh kematian adalah "hari-hari kehidupan" baka, yang mungkin saja tidak relevan untuk dihubungkan dengan kepiluan dan penderitaan.

Karena belum ada manusia biasa dalam pandangan yang dapat diterima dalam kedamaian utuh secara universal, yang kembali dari kematian untuk menjelaskan apakah ada keluhan soal beragam kepiluan dan berbagai penderitaan dalam "hari-hari kehidupan" yang melampaui kematian, maka perlu secara spesifik membatasi pandangan rohanis ini hanya bagi sebagian yang meyakininya, dan tidak perlu men-generalisasikan-nya dalam hubungannya dengan iman yang berbeda-beda. Tidak usah terlalu mudah tersinggung dan menjadi marah-marah dengan orang yang berbeda.

Bagi mereka yang meyakininya, bila kelahiran Sang Juruselamat dalam palungan di sebuah kandang domba yang hina itu dimaknai sebagai sebuah simbol kehadiran kabar baik yang patut dirayakan, bukankah itu semata-mata karena kelahiranNya dimaknai sebagai simbol keselamatan yang inklusif, sehingga bermakna bagi semua? Dalam narasi perjanjian baru pun itu disebutkan, bahwa Dia adalah Juruselamat manusia, tidak hanya bagi golongan tertentu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun