Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Parameter dan Perimeter di Pusaran Pikiran

17 Oktober 2019   18:54 Diperbarui: 18 Oktober 2019   06:34 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
maths-confused-joke (https://www.cazoommaths.com/maths-jokes/)

Dalam menentukan kriteria atas segala sesuatu, sudah sangat umum, manusia membangun parameter sebagai landasan untuk menciutkan berbagai opsi keputusan yang mungkin untuk diambil hingga memudahkan dalam menetapkan sebuah keputusan atau kebijakan. 

Parameter, bagi setiap orang tentu saja tidak lepas dari unsur subjektif, sehingga selalu menampilkan citra optimis sekaligus pesimis, tergantung tuntutan kebutuhan setiap orang yang berkepentingan. Semakin tinggi tuntutan, yang tercipta tentu saja peluang terjadinya jurang kesenjangan yang semakin besar antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan adalah pintu masuk datangnya permasalahan.

Siapa yang paling berkepentingan, biasanya punya kecenderungan memiliki tuntutan kebutuhan yang paling besar. Tuntutan kebutuhan yang tidak terbatas melahirkan peluang permasalahan yang tidak dapat diperkirakan semakin besar. Padahal, sudah pasti, kemampuan untuk mencukupi semua kebutuhan adalah sesuatu yang tidak tak terbatas. Ini adalah masalah.

Berbicara tentang masalah, bisa diambil sebuah benang merah hubungan antara parameter dan perimeter. Karena, tidak mungkin memuaskan semua kebutuhan dari orang yang berkepentingan, maka manusia juga menciptakan perimeter untuk bisa mewujudkan parameter yang telah diciptakan. Masalah lainnya, manakah yang biasa lebih dahulu ditempuh oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya, parameterkah yang lebih dahulu diciptakan atau perimeter? Beda antara huruf "a", huruf "e" dan huruf "i" pada kata parameter dengan perimeter, tidak sesederhana beda huruf dan vokal pengucapannya, walau hanya beda satu dua huruf, polemik tentang mana yang didahulukan, antara parameter dengan perimeter, kira-kira hampir mirip dengan polemik pertanyaan terkait mana yang lebih dahulu diciptakan dalam kehidupan, ayam atau telur?

Masalahnya, kalau tidak ada ayam dari mana datangnya telur, sementara dalam siklus kehidupan sudah diketahui bahwa ayam datang dari telur yang menetas. Bagaimana manusia menciptakan parameter kalau ia tidak lebih dahulu menciptakan perimeter untuk mengetahui siapa saja yang termasuk dalam kriteria, atau sebaliknya, bukankah ia lebih dahulu menciptakan perimeter baru kemudian menciptakan parameter guna menjustifikasi legalitas keterlibatannya dalam sebuah himpunan?

Kemungkinan kebenaran atas pendapat ini, tidak terlepas dari riwayat ungkapan cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, dari Rene Descartes. Pendapat ini menegaskan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Dengan kata lain, apa yang tidak dipikirkan sama artinya dengan tidak ada. Maka, bisa dibayangkan bahwa manusia yang membangun parameter punya kecenderungan adalah mereka juga yang termasuk ke dalam perimeter.

Walau berbeda di huruf "a", huruf "e" dan huruf "i", parameter punya kecenderungan datang bersamaan dengan perimeter. Bukankah, kecenderungan memikirkan kepentingan diri sendiri adalah salah satu watak bawaan alamiah manusia yang diwariskan secara turun temurun di segala tempat dan zaman?

Ungkapan dalam berbagai slogan etis humanis, yang berbunyi "mendahulukan kepentingan orang lain, kepentingan masyarakat, kepentingan bangsa dan negara, dan sebagainya daripada kepentingan diri sendiri" barangkali adalah bentuk hasil pikiran manusia sendiri untuk mencegah watak alamiahnya, ego, berkuasa dalam kenyataan. 

Slogan etis itu justru muncul, karena pada kenyataannya memang lebih mudah mendahulukan kepentinngan diri sendiri dari pada kepentingan lain di luar diri sendiri. Slogan etis itu adalah harapan yang sangat disadari sebagai sesuatu yang belum terwujud atau sulit untuk diwujudkan, jadi bukan slogannya yang salah, tapi begitulah kenyataan.

Maka, di atas semua ketidakpuasan, patutlah disadari secara realistis, bahwa berdasarkan semua parameter dan perimeter yang mampu dipikirkan, itu adalah realitas ideal atau ide realistis terbaik untuk diterima bersama. Bukankah kenyataan yang senjang dari harapan terjadi karena yang berpikir juga mungkin lebih sedikit dari pada yang tidak. Jangan salahkan mereka yang berpikir dalam segala keterbatasannya. Justru patut disyukuri bahwa masih ada yang mau berpikir. Karena kalau tidak ada lagi yang berpikir, mungkin eksistensi kita secara keseluruhan pun menjadi patut untuk dipertanyakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun