Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Realita Etis Pemberantasan Korupsi dari Masa ke Masa

12 Oktober 2019   13:20 Diperbarui: 12 Oktober 2019   18:30 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Korupsi (KOMPAS/DIDIE SW)

Dalam sebuah film jadul, berjudul "Carok," adalah Prof. Hombing, karakter guru besar pada fakultas hukum, yang dalam sebuah dialog antara dirinya sebagai dosen pembimbing dengan tokoh Jamal.

Tokoh Jamal diperankan oleh Barry Prima, mahasiswa bimbingannya, yang merasa bimbang karena meyakini dirinya telah salah memilih jurusan. Kebimbangannya justru muncul pada tahap-tahap akhir penulisan skripsi untuk meraih gelar sarjana hukum.

Prof. Hombing mengulurkan tangannya menjabat tangan Jamal di akhir keluhannya terkait kebimbangannya.

Kata sang profesor: "Kamu calon sarjana hukum yang baik. Kamu bukan bimbang, tapi sangsi. Sebagai sarjana hukum yang baik, perasaan sangsi akan selalu ada. Kalau sangsi cepat sekali berubah menjadi merasa pasti, maka patut diragukan, jangan-jangan kamu bukan lagi calon sarjana hukum. Kamu mungkin adalah calon pedagang, atau politikus, atau manajer, atau barang kali kamu bukan siapa-siapa lagi."

Sad Reality (https://viraluck.com/33-jokes-of-the-day-for-monday-19-november-2018/)
Sad Reality (https://viraluck.com/33-jokes-of-the-day-for-monday-19-november-2018/)
Mencermati pernyataan Prof. Hombing pada dialog film tersebut, yang tayang di sebuah stasiun televisi swasta nasional hampir bersamaan dengan penayangan sebuah acara live talkshow hukum di saluran teve lainnya, dengan lakon perdebatan hukum, dimana masing-masing narasumber mempertahankan aspek kebenarannya dengan dasar hukum masing-masing.

Maka, untuk mengukur tingkat kenormalan kita sebagai penonton acara debat hukum dengan menggunakan logika hukum Prof. Hombing di film Carok pada saluran teve lainnya itu, seharusnya kalau kita sedikit saja memahami hukum, kita akan merasakan sedikit sangsi.

Dengan kata lain, maka kalau kita memang benar-benar sepenuhnya memahami ilmu hukum, maka seharusnya kita benar-benar sepenuhnya merasa sangsi. Ingat, bukan bimbang?.

Pada akhir cerita filmnya, Jamal yang adalah calon sarjana hukum, akhirnya masuk penjara. Ia lebih memilih untuk tidak sangsi dalam membalaskan dendam atas kematian ayahnya dengan menjalankan tradisi Carok. Itu adalah pertarungan pembalasan dendam di mana nyawa diganti nyawa.

Sesuai dengan judul filmnya, yang sama sekali bertentangan dengan hukum yang mati-matian dipelajarinya sebelum akhirnya ia masuk penjara.

Meskipun diangkat sebagai cerita film, tradisi untuk memilih bersikap tidak sangsi, ternyata bisa berakhir dengan hukuman. Maka, begitulah bila menjadi seorang antagonis. Semakin dibenci, berarti semakin berhasil memainkan peran oposisi.

Bahwa tidak menjadi masalah untuk menjadi antagonis, sepanjang peran itu adalah untuk akhir cerita yang baik demi kebaikan orang-orang yang patut untuk dibela. Tidak selamanya yang terbanyak adalah yang terbaik.

Apa kaitan pesan moral film Carok dengan upaya pemberantasan korupsi? Ada sebuah kutipan dari Parker, tokoh dalam film barat dengan judul yang sama, yang diperankan oleh Jason Statham yang menyaru menjadi seorang pendeta, sebagai jembatan untuk mencari hubungan pesan film Carok dengan pencegahan korupsi ini.

Jason Statham sebagai Parker dalam Film Parker (www.pinterest.com)
Jason Statham sebagai Parker dalam Film Parker (www.pinterest.com)
Kata Parker, "Semua orang mencuri, ada yang mengaku dan ada yang tidak. Itu sebabnya manusia membuat kunci."

Bahwa korupsi sudah ada sejak zaman dulu kala itu ada jejaknya. Namun, ada yang ketahuan dan ditangkap, tapi mungkin lebih banyak yang tidak terungkap.

Bagi sebagian yang masih selamat, barangkali karena ada yang menjadi sangsi sehingga berhenti melakukannya. Oleh sebab itu, menjadi benar pendapat Prof. Hombing, bahwa ada baiknya menjadi sangsi. Sikap terlalu percaya diri, dengan merasa pasti atas segala sesuatu, sekalipun itu berpotensi melanggar hukum bisa berakhir dengan hukuman.

Korupsi dari asal kata corruptus dalam Bahasa Latin, sudah terjadi sejak abad-abad kuno Romawi. Lihat misalnya, di Roma, ketika masa pemerintahan Kaisar Oktavianus.

Kala itu, pendeta di kuil dewa-dewa Romawi menarik persembahan emas, perak dan barang-barang berharga dari umatnya, yang tidak pernah sampai kepada dewa, melainkan masuk ke kantong pribadi mereka sendiri. Kuil dewa-dewa memperkaya diri pemuka-pemukanya.

Melihat kenyataan itu, pemerintah pun tidak mau ketinggalan. Melalui senator-senator yang bertugas membuat undang-undang dan hukum-hukum di senat, mereka membuat aturan yang memungkinkan pemerintah menarik pajak yang tinggi dari kuil-kuil. Apakah itu untuk rakyat? Tidak. Pajak itu untuk membangun ambisi Kaisar dan senator mendirikan istana megah dan rumah-rumah megah di Palatina.

Benar kata Lord Acton, orang Inggris itu, bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Bukankah pemuka agama di kuil-kuil, kaisar, dan senator adalah simbolisasi sebagian aktor yang memiliki kuasa dan kewenangan di tengah-tengah masyarakat?.

Tapi apakah korupsi adalah kecenderungan yang hanya dimiliki oleh mereka yang berwenang dan berkuasa? Nyatanya tidak. Seperti kata Parker, bahwa semua orang mencuri, tapi ada yang mengaku dan ada yang tidak.

Dalam sebuah kesempatan di tanah Judea, Rasul Yohanes yang sedang membaptis di sungai Jordan didatangi oleh para pemungut cukai dan tentara. Pada masa itu, Jerusalem memang dijajah oleh bangsa Romawi. Itu terjadi diperkirakan pada masa-masa akhir pemerintahan Kaisar Oktavianus di Roma.

Sekadar catatan, masa ini diperkirakan berdasarkan catatan, bahwa riwayat Jesus Kristus yang disalibkan pada umurnya yang ke-33 tahun, yakni pada masa Tiberius menjadi Kaisar Romawi menggantikan Oktavianus ayahnya.

Apa yang terjadi? Pemungut cukai dan tentara bertanya kepada Yohanes, apa yang harus mereka lakukan agar selamat di akhirat. Kata Yohanes, pemungut cukai jangan memungut pajak lebih dari seharusnya.

Bagi mereka yang kelebihan pakaian dan makanan, bagikanlah itu kepada orang yang tidak berpakaian dan kekurangan makanan. Bagi para tentara jangan merampas apa yang menjadi milik orang-orang kecil, cukupkan diri dengan gaji yang mereka terima dan jangan menindas.

Dari penjelasan itu, bisa dibayangkan, bahwa orang-orang yang susah karena tidak memiliki pakaian, kelaparan karena kekurangan makanan, yang merasa dirampas hak-haknya, atau ditindas oleh mereka yang berkuasa, juga punya kecenderungan "memenuhi kebutuhannya" dengan korupsi, mencuri apa yang mereka pandang seharusnya menjadi bagian dari haknya.

Kembali ke negara kita. Menurut catatan Transparency International, pada tahun 2014 indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada angka 34. Selanjutnya naik menjadi 36 pada tahun 2015. 

Sementara itu, pada saat ini menurut salah seorang Komisioner KPK, Basaria Panjaitan, dalam sebuah kesempatan pada saat diskusi dan diseminasi strategi nasional pemberantasan korupsi (Stranas PK) pada 1 Oktober 2019 yang lalu di Medan, bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada angka 38.

Menurut beliau, peningkatan ini cenderung lambat. Salah satu penyebabnya katanya adalah karena kurangnya komitmen pemerintah daerah dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Menilik dari sejarah perkembangan korupsi ini, barangkali memang kita perlu melihatnya secara realistis. Walaupun ada etika universal yang barangkali berlaku bagi semua orang, bahwa kita perlu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Tapi, itu bukanlah dalam artian negatif sebagaimana Carok memperlakukan ganti nyawa bagi nyawa yang hilang. Kejahatan dibalas dengan kejahatan.

Setiap orang perlu mengendalikan kecenderungan mental koruptif yang sebenarnya ada dalam diri setiap orang dalam arti yang luas. Entah mereka mengakuinya atau tidak. Karena sebenarnya tidak ada seorangpun yang benar, seorang pun tidak.

Bahkan, bagi orang yang mengetahui berbagai pengetahuan baik yang benar atau yang tidak, kecenderungan itu, mental koruptif itu, tetap ada. Bukankah Nietzsche berkata bahwa pengetahuan pun adalah bentuk kehendak untuk berkuasa, dan kekuasaan itu sebagaimana pendapat Acton, cenderung koruptif.

Lakukanlah apa saja yang engkau suka, sepanjang engkau yakin bahwa engkau juga suka ketika orang lain memperlakukan dirimu sebagaimana engkau berlaku kepada mereka.

Mungkin pendapat ini tidak memadai sepenuhnya, tapi bukankah karena itu manusia membuat kunci? Karena sebenarnya setiap orang hanya mempercayai apa yang mereka yakini, dan mengunci keyakinannya untuk dirinya sendiri.

Karena mereka tahu, bahwa orang berakal budi, mereka yang bijaksana, perlu bersikap realistis ketika menyadari bahwa waktu-waktu ini adalah masa di mana tidak selalu keadilan, kebenaran dan hukum senantiasa seiring sejalan.

Kita cukup mengenali siapa diri kita, dan bertindak dengan pilihan dan kesadaran yang kita miliki. Barangkali dengan itu, setiap orang akan mengendalikan kecenderungan jahat yang ada di dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun