Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Siapakah yang Merawat Indonesia?

3 Oktober 2019   14:49 Diperbarui: 4 Oktober 2019   04:41 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Gambar oleh Joseph Samson dari Pixabay

Isu tentang perkembangan teknologi informasi dan penerapannya di hampir segala aspek hidup keseharian masyarakat dunia, termasuk Indonesia pada hari-hari kini, menjadi salah satu isu yang paling aktual dalam merawat modal sosial ke-Indonesia-an kita dewasa ini.

Sejarah pergolakan di tengah-tengah masyarakat kita, mulai dari masa kolonial Belanda, masa perjuangan merebut kemerdekaan, bahkan hingga masa-masa mengisi kemerdekaan saat ini semakin menegaskan bahwa penguasaan data dan informasi menjadi faktor kunci, tidak saja dalam persaingan antar bangsa, tapi juga dalam merawat persatuan Indonesia yang lahir dalam keberagamannya.

Bukti akan adanya kesadaran tentang nyatanya tantangan itu, maka tidak kurang telah terbit Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. 

Masuknya dimensi persatuan melalui apa yang dinamakan sebagai gerakan Indonesia Bersatu sebagai salah satu dimensi gerakan revolusi mental, di samping empat dimensi lainnya, yakni Indonesia melayani, Indonesia bersih, Indonesia tertib dan Indonesia mandiri, semakin menegaskan kesadaran itu. Bahwa menjadi Indonesia yang bersatu di tengah tantangan disruptif teknologi informasi adalah sebuah tantangan yang serius.  

Gerakan ini mengharapkan terciptanya sosok-sosok warga masyarakat dengan perilaku mencintai persatuan, mampu menjadi aktor, bukan hanya sebatas agen perubahan.

Warga masyarakat yang berhenti di tahap agen, hanya akan menjadi "penyalur" nilai-nilai yang tergantung pada pasokan distributor. Siapa yang menjadi distributor, sudah tentu para pihak yang memiliki kepentingan dengan pasang surutnya Indonesia.

Masyarakat sebagai aktor yang mengenali perannya akan berkontribusi positif bagi hadirnya sebuah perubahan yang transformatif.

Transformasi yang substantif, membutuhkan adanya komitmen bersama dari seluruh elemen masyarakat, yang hanya akan lahir apabila ia melihat dan merasakan adanya alasan penting dan manfaat dari perlunya sebuah perubahan.

Sudah barang tentu, adalah kebodohan, kemiskinan dan korupsi, yang telah, sedang dan mungkin akan senantiasa menjadi tantangan yang mengiringi perjalanan bangsa kita.

Sekalipun untuk mengubahnya mungkin akan menyisakan sebuah kegetiran, diiringi beragam kesulitan, perasaan kalah dan keterpurukan, itu harusnya menjadi komitmen untuk menularkan semangat positif perubahan kepada lebih banyak orang.

Semangat itu adalah gaya tarik emosional, yang muncul karena orang-orang melihat dan merasakan fakta yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Sikap pesimis dan sinis dalam memandang perubahan adalah sebuah hambatan. Maka, untuk mengatasinya, warga masyarakat perlu membiasakan diri "merayakan bersama" semangat Persatuan Indonesia.

Dalam sebuah kesempatan sebagai salah satu keynote speaker di acara Rapat Koordinasi Kepegawaian Nasional Tahun 2019, pada 25 September 2019 di Yogyakarta, di hadapan seribuan aparatur birokrasi pengelola kepegawaian Republik Indonesia, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pengarah Ideologi Pancasila menjelaskan beberapa hal terkait dengan Filosofi Pancasila.

Katanya, "Pekerjaan harian pemerintahan secara riil dijalankan oleh birokrasi. Hal ini dapat dibuktikan secara historis sejak dari masa perjuangan kemerdekaan."

Dia melanjutkan bahwa, "Indonesia dalam sebutan Sukarno sebagai "Taman Sari Peradaban Dunia", dalam memandang wilayah negara Indonesia yang berupa kepulauan, dan sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Muhammad Hatta, hanya dapat diurusi oleh Aparatur Negara yang mempunyai keluasan mental dan keluasan kerohanian seluas wilayah Indonesia."

Hal ini menegaskan bahwa siapapun dia, orang yang ditugaskan menjadi aparatur yang berkewajiban merawat negara ini, dituntut memiliki kesadaran tentang keragaman Indonesia dan tidak bersifat diskriminatif dalam pelaksanaan tugas, pelayanan dan pengabdiannya.

Itu adalah modal sosial Indonesia. Modal sosial Indonesia yang dikelola dengan baik oleh 4,3 juta aparatur sipil negara Republik Indonesia saat ini, akan menjadi mutual trust. Sebaliknya, bila salah dikelola akan menjadi mutual distrust.

Berbicara tentang filosofi Pancasila, bahwa secara garis besar, kelima sila Pancasila bisa dibagi ke dalam tiga ranah.

Ranah pertama adalah "Mental Kultural", yang tercermin pada sila ke-1 Ketuhanan yang Maha Esa, sila ke-2 Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila ke-3 Persatuan Indonesia. Ranah kedua adalah "Politikal", yang tercermin pada sila ke-4 Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Ranah ketiga adalah "Material", yang tercermin pada sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Sementara itu, dalam sudut pandang cakupan prasyarat jatuh bangunnya sebuah peradaban, kelima sila Pancasila di ketiga ranah tersebut, berkaitan dengan dengan "Tata Nilai" pada sila ke-1, ke-2 dan ke-3, berkaitan dengan dengan "Tata Kelola" pada sila ke-4, dan berkaitan dengan "Tata Sejahtera" pada sila ke-5.

Pembagian ke dalam tiga ranah dan tiga sudut pandang cakupan penataan itu, sejalan dengan pandangan Napoleon Bonaparte, yang mengatakan bahwa hanya sepertiga dari faktor penentu kemenangan adalah faktor material, selebihnya dua pertiga lagi adalah faktor mental. 

Dalam jangka panjang, untuk mengatasi defisit modal sosial ke-Indoneisa-an, kita perlu melakukan re-investasi.

Hal ini secara sederhana dapat kita terapkan dengan mencermati setiap tindakan kita sehari-harinya dengan bercermin kepada filosofi tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera. 

Ada tiga pertanyaan kunci yang bisa kita pakai untuk menguji sejauh mana tindakan dan perbuatan kita berguna atau merusak bagi Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Pertama, apa implikasi tindakan kita itu pada Persatuan Indonesia? Kedua, apa implikasi tindakan kita itu pada kesejahteraan? Dan ketiga, apakah tindakan kita menciptakan keadilan, sebagai jalan tengah yang berada di antara persatuan dan permusyawaratan?

Hal yang ironis terkait dengan perimbangan antara faktor material dengan faktor mental pada aparatur dan masyarakat kita dari perspektif Total Product Factor, bahwa pada kenyataannya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi bangsa kita masih terbatas bersumber dari dukungan dan terlihat pada sumber daya material (sumber daya alam). Input faktor mental (ilmu pengetahuan) terhadap pertumbuhan ekonomi kita nyaris nol.

Kita bisa bertanya, dan menjawab sendiri di dalam hati, "Sudahkah aku menjadi bagian dari gerakan yang merawat Indonesia?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun