Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kesadaran Mendefinisikan Kenyataan dalam Realitas Tak Tampak di "Dunia Kafkaesque"

14 Agustus 2019   15:59 Diperbarui: 14 Agustus 2019   16:07 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
How Kafkaesque Are You? (bbc.co.uk)

Sebagaimana Haruki Murakami menghiasi novel-novelnya dengan kisah-kisah individual, sosial dan sejarah yang penuh dengan kesan-kesan kegelapan, maka tidak heran bila karya-karyanya sering dikomentari oleh para kritikus sastra sebagai karya yang surealistik dan nihilistik. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pembawaan Kafkaesque atau aliran Kafka yang sering menjadi ciri khas tulisan-tulisan Murakami, dengan mengusung tema kesendirian dan pengasingan.

Karya Kafka sendiri muncul dan menjadi perbincangan justru ketika ia telah meninggal. Kenyataan lebih menyenangi ide, pikiran dan tulisan dari penulis yang telah meninggal ini juga muncul dalam karakter Toru Watanabe pada novel tulisan Murakami yang berjudul Norwegian Wood, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1987.

Watanabe yang gemar membaca, mengakui hal itu saat ia ditanyai oleh Midori, jenis buku bacaan seperti apa yang paling disenanginya. Midori adalah teman kuliah Watanabe di Tokyo. Ia adalah tipe wanita yang tampil apa adanya, berbicara ceplas-ceplos, penuh semangat dan bertanggung jawab terhadap keluarga.

Ini adalah tipe yang sedikit berbeda dengan Watanabe yang terkadang agak serius, meskipun adalah pribadi yang cukup menyenangkan, dan dapat menerima siapa saja apa adanya. Di samping itu, ia juga suka bimbang, karena itulah ia terjebak dalam perasaannya di antara Midori dan Naoko, wanita cinta pertamanya. Tapi begitulah kehidupan dengan dua hal yang saling berkebalikan menemukan caranya secara unik untuk menciptakan keseimbangannya sendiri.

Murakami dalam kiprah kepenulisannya juga pernah mendapatkan penghargaan Franz Kafka Prize, pada tahun 2006 yang lalu. Salah satu karyanya yang lain berjudul Kafka on the Shore, sebuah novel yang terbit pada tahun 2002 yang lalu. Berbeda dengan sikap Watanabe, Steven Poole dari The Guardian memuji Haruki Murakami sebagai "salah seorang di antara novelis hidup terbaik dunia" terkait karya-karya dan capaian-capaiannya.

Kembali ke Kafkaesque, bahwa hidup di dunia ini tidak terlepas dari atau bahkan mungkin dikepung oleh sejumlah kesuraman yang hanya tampak sebagiannya, tapi barangkali lebih banyak yang tidak, namun terasa. Maka sebagai kata sifat, Kafkaesque, dapat diartikan sebagai sifat dari manusia-manusia yang hidup di zaman postmodern yang sering kali tampak dan terasa menyimpang, dalam karakter yang terdistorsi surealitas, dan dengan pengertian yang tidak biasa seperti menantikan datangnya ancaman dan bahaya dalam dunia yang suram.

Itu adalah gambaran yang berhubungan dengan cara-cara Kafka menuangkan tulisan-tulisannya. Tampak rumit dan sukar dimengerti jalan ceritanya, tapi sesungguhnya demikianlah fakta yang terjadi di sekitar dan dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani.

Mengutip pendapat Bryan Stanley Turner, seorang sosiolog berkebangsaan Inggris dalam buku "Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat" (2008), bahwa postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan tentang baik dan buruknya untuk hidup dengannya. Pada postmodernitas, kesempatan yang terbuka tercerabut dari ancaman-ancaman yang bersembunyi di balik setiap kesempatan.

Kondisi sosial seperti ini diakibatkan oleh pengaruh teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, hiperkonsumerisme, deregulasi pasar modal dan komodifikasi kepentingan-kepentingan publik.

Pada era ini, stabilitas dan kemapanan dalam konsep negara bangsa adalah hal yang sudah usang. Maka tidak heran, saat ini orang-orang Barat menjadi lebih banyak mencoba kembali ke cara-cara hidup tradisional. Mereka berwisata ke desa-desa, berpakaian dan mengerjakan hal-hal sesuai keseharian orang-orang desa, mereka bertamsya ke ladang atau sawah-sawah.

Bahkan manusia sekarang cenderung kembali membesar-besarkan hal-hal pramodern, seperti metafisika, mitos dan sihir. Maka tidak heran, tayangan televisi yang menyediakan segmen acara untuk hal-hal yang berbau mistik dan klenikpun banyak juga peminatnya, bahkan diharapkan dapat menaikkan rating stasiun televisi. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga yang masih tradisionil, tapi juga di Barat. Dan tidak heran juga, di era kapitalisme mutakhir ini juga sangat berkembang relativisme, ironi dan parodi, sebagaimana disampaikan oleh Turner.

Bahkan dengan banjirnya informasi, didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita sedang berada di dunia hiperealitas. Ini digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi.

Hiperealitas adalah makna untuk mempersifatkan bagaimana kesadaran mendefinisikan "kenyataan" sejati di dunia, di mana keanekaragaman media dapat secara mengakar membentuk dan menyaring kejadian atau pengalaman sesungguhnya.

Bagi Jean Baudrillard, seorang ahli teori hiperealitas, keadaan ini mempertentangkan simulasi dan representasi. Simulasi bagi Baudrillard adalah simulakrum dalam pengertian khusus, yang disebutnya simulakrum sejati, dalam pengertian bahwa sesuatu tidak menduplikasi sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasi dirinya sendiri.

Maka, tidak heran mengapa semakin sulit membuat manusia menjadi patuh dan taat, tidak mudah untuk bermusyawarah, orang-orang tidak mudah untuk diatur dan ditertibkan, karena masing-masing orang mendefinisikan kenyataan dan kebenaran menurut versinya sendiri.

Manusia yang hidup di dunia yang Kafkaesque tidak jarang terperangkap dalam keterbelahan antara ucapan dan perbuatan, antara kognisi dan emosi. Manusia kini menjadi sering kali hidup mengkhayal dalam kenyataan.

Dalam percakapan dengan seorang teman, ia mengatakan hal lain yang juga turut memberikan andil dalam berkembangnya hiperealitas di dunia yang Kafkaesque ini adalah isu soal identitas. Sebuah kontradiksi, bahwa manusia postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.

Pada masa ini terjadi pergeseran di mana manusia di negara maju mulai tidak suka lagi dikatakan modern, sebagai reaksi atas impian-impian masa modern yang tak tercapai. Ini merupakan pemberontakan pada janji modernisme untuk mewujudkan keadilan bagi manusia yang dianggap gagal.

Manusia kini bukan tidak banyak yang semakin menyenangi hal-hal yang primordial, nostalgia, dan tradiosional. Pada masa kini pun kita masih saja bertanya-tanya apa itu nasionalisme, apa artinya menjadi Indonesia. Sebagian lagi memang menganggapnya tidak terlalu penting, karena yang penting saat ini adalah "tanggap digital," itu saja sudah cukup.

Padahal realitanya tidak cukup demikian. Tergerusnya realitas oleh dunia maya, membuat kita tidak "hidup" di masa sekarang, tapi hidup dalam fantasi. Sering kita temukan, kini semakin canggih alat komunikasi kita, tapi ternyata kita malah semakin sulit untuk saling memahami.

Dalam konteks ini menjadi berasalan, kenapa Watanabe lebih menyukai buku-buku dari pengarang yang telah meninggal dunia. Karena, ia menjadi lebih bisa menilai secara objektif kesatuan antara ucapan dan perbuatan, atau antara kognisi dan emosi dalam tulisan dari si penulis yang telah tiada. Ia tidak terdistorsi oleh tindak-tanduknya, sebagaimana halnya bila saja ia masih hidup.

Di dunia Kafkaesque, di mana kesadaranlah yang sering kali mendefinisikan kenyataan, maka apa yang nyata sesungguhnya sering kali tidak tampak di permukaan. Dalam realitas tak tampak ini, menilai seseorang itu berhasil atau gagal terkadang lebih baik dengan membaca catatan-catatan atas diri atau pikirannya, sebagai rekam jejak semasa hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun