Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kemiskinan seperti Kecoak yang Kini Nyaris Mustahil untuk Dibunuh

31 Juli 2019   17:09 Diperbarui: 6 Agustus 2019   18:33 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kecoak (Sumber: cockroach) | sains.kompas.com

Hanya Grete yang masih berusaha memahami Samsa dalam kelurga itu kini. Itupun setelah ia berusaha sekuat tenaga memahami apa yang telah, sedang dan akan terjadi nanti pada Samsa, dan bagaimana ia harus memeperlakukannya agar ia bisa bertahan hidup.

Hal Ini belum termasuk bagian perjuangan seluruh anggota keluarga dalam menyembunyikan apa yang terjadi pada Samsa, baik kepada pembantu yang akhirnya memilih untuk berhenti bekerja, karena tidak bisa memahami keanehan yang sedang terjadi pada keluarga ini, maupun kepada tamu-tamu mereka pada akhirnya, ketika mereka harus menyewakan sebagian dari rumahnya untuk mendapatkan tambahan uang guna mencukupi keperluan mereka. 

Perubahan Samsa, mantan Letnan yang menjadi penjaja keliling dan kini berubah menjadi kecoak, tidak saja pukulan yang menyakitkan bagi keluarga, tapi juga aib yang sangat memalukan sekalipun kenyataan itu sangat tidak masuk akal.

Begitulah Samsa menjalani hari-harinya, dengan bersembunyi di antara kain-kain yang ada di bawah sofa, merayap dari sudut ke sudut pada dinding dan langit-langit rumah, dan tentu saja memakan makanan-makanan busuk yang menjadi kesukaan kecoak sebagaimana umumnya, sambil mata dan antenanya terus berjaga-jaga mengawasi kemungkinan datangnya bahaya. Karena semua orang akan merasa jijik saat menyadari keberadaan seekor kecoak.

Apa yang terjadi pada Samsa adalah hal yang tidak dapat diterima akal dalam kehidupan nyata. Namun, dari sudut pandang surealis, merasakan perasaan Samsa menggunakan kaca mata manusia dengan rasa kecoa mungkin kita akan mendapatkan kesan yang lebih suram saat memandang kehidupan nyata. Ini adalah kehidupan yang tampak mapan di permukaan, tapi sesungguhnya rapuh di dalam.

Metamorfosis (theotraphi.com)
Metamorfosis (theotraphi.com)
Begitulah pada suatu siang yang terik di tengah jalanan yang macet di Jakarta, saat orang-orang kantor sedang ramai-ramainya keluar mencari makan pada jam makan siang, saya berbincang-bincang dengan seorang supir taxi konvensional.

"Dari mana pak?" katanya.
"Saya dari Kabanjahe," kata saya.
"Di mana itu, Pak?" ia bertanya.
"Kalau bapak pernah mendengar Gunung Sinabung yang meletus beberapa waktu yang lalu, tempat saya tidak jauh dari gunung itu," kataku.

"Oo," lalu senyap beberapa saat. Supir taxi ini pun tampak beberapa kali menguap, sama seperti saya yang sudah mulai terkantuk-kantuk, terjepit di antara kendaraan-kendaraan yang sama-sama tidak saling mengetahui akan menuju kemana, tapi berduyun-duyun memadati jalan yang sama. Sebagian ke kanan, sebagian lagi ke kiri, pada suatu titik di perjalanan.

"Kalau di Jakarta hampir macet tidak putus-putus setiap harinya, Pak," katanya lagi.

"Wah, jangankan Jakarta, di kampung sayapun jalanan sering macet. Apalagi pada jam-jam menjelang masuk kerja dan jam pulang anak sekolah, belum lagi kalau hari libur" jawabku.

"Oya, Pak. Benar juga. Memang di zaman sekarang orang-orang sudah mudah sekali memiliki kendaraan pribadi. Tinggal bayar uang muka yang bisa dibikin murah dan bayar angsurannya," tambahnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun