Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Kita adalah Apa yang Kita Makan?

27 Mei 2019   12:37 Diperbarui: 27 Mei 2019   21:12 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anak-anak yang kelaparan di Afrika (pinterest)


"Manusia makan untuk hidup, atau hidup untuk makan?" Pertanyaan itu barangkali menjadi pertanyaan yang tetap membawa perdebatan bila dipandang sekurang-kurangnya baik dari sisi idealisme maupun dari sisi realisme.

Orang yang idealis tentu akan menjawab bahwa "makan" itu hanya sebagian dari kebutuhan untuk hidup, bukan sebuah tujuan. Bahkan orang religius akan mengimani bahwa manusia hidup tidak hanya dari makanan, melainkan dari setiap Firman yang keluar dari mulut Allah.

Namun, pada realitanya memang ada benarnya juga pendapat yang setuju bahwa manusia seolah hidup untuk makan. Mengapa tidak? Sejak standar budaya makan tampak menjadi sebuah ukuran tunggal dalam sebuah desa global, menurut istilah Marshall McLuhan, melalui makanan-makanan cepat saji yang diciptakan oleh McDonald dan Kolonel Sanders, maka dalam banyak hal saat ini, hidup terlihat seolah adalah untuk makan.

WHO pernah membuat sebuah proyeksi bahwa 700 juta orang di seluruh dunia akan menjadi golongan obesitas pada tahun 2015. Di tahun 2019 ini, proyeksi itu mungkin telah menjadi kenyataan, atau bahkan melampauinya. Obesitas telah menjadi masalah global, dalam bahasa Ben Dupre, diistilahkan dengan "globesitas."

Kelebihan makan pun telah menjadi sebuah masalah di masa kini. Kalau dulu banyak orang mati kelaparan karena kekurangan makan, maka kini banyak penyakit yang berisiko tinggi menyebabkan kematian justru karena semakin banyak orang yang hidup hanya untuk makan.

Sebuah fakta perubahan cepat yang terjadi secara mengesankan pada masa kini dan belum pernah terbayangkan pada berabad-abad sebelum ini, adalah "berhentinya waktu" dan "hilangnya jarak," menurut Marshall. Waktu dan jarak menciut berkat teknologi informasi.

Kemajuan teknologi di bidang transportasi, turut mengimbangi arus pergerakan informasi digital di dunia maya, melalui pergerakan manusia, barang dan uang di dunia nyata. Kenyataan ini turut mengakibatkan perpindahan makanan, bahkan makanan yang tidak dikenal sebelumnya telah menjangkau belahan-belahan dunia yang tidak dikenal sebelumnya.

Komoditi yang diproduksi dan didistribusi dengan dukungan teknologi tinggi, membuat dunia berhasil menciptakan produksi komoditi yang mencengangkan, baik dalam jumlah yang banyak dan harga yang murah. Makanan semakin bervariasi, semakin banyak dan mudah didapatkan. Itupun dengan catatan bila ada cukup uang. Maka, makanan pun turut mendukung tumbuh subur kapitalisme liberal.

Ada uang ada makanan. Istilah ini mungkin lebih cocok seiring kemajuan zaman, ketimbang ungkapan religius dari masa lampau yang mengatakan "Siapa yang tidak bekerja tidak usah diberi makan." Pekerjaan sendiri saat ini telah berkembang melampaui berbagai pemahaman.

Baca: https://www.kompasiana.com/teotarigan/5bed6a6712ae945fb45765a2/mendefinisikan-ulang-arti-pekerjaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun