Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Guncangan Pengenalan: Dia yang Dibenci, Suatu Saat Mungkin Menjadi yang Paling Dihormati

4 Mei 2019   03:14 Diperbarui: 6 Mei 2019   17:13 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prometheus (https://i.pinimg.com)

Alkisah, dalam mitologi Yunani, diceritakan bahwa Prometheus yang merupakan makhluk setengah dewa, mencuri api yang dikuasai oleh dewa Zeus di Olympus, dan diberikannya api itu kepada manusia. Oleh karenanya, Prometheus dihukum oleh para dewa dengan dibelenggu ke batu karang, dimana seekor elang besar datang memakan hatinya. 

Setiap hari hati itu selalu tumbuh lagi walaupun selalu dimakan oleh elang itu. Prometheus tetap bersikukuh tidak mau menyerah. Baginya lebih baik menjadi pelayan batu karang daripada menjadi anak patuh bapa Zeus.

Bagi Karl Marx, kisah Prometheus itu adalah alegori untuk menjelaskan semangat humanisme, yang meyakini manusia sebagai subjek yang otonom dan sekaligus pembangun dunia. Api adalah simbol terang, kekuatan dan semangat, tapi juga sekaligus dengan risiko membakar dan merusak. Karl Marx, yang menurut Paul Ricoeur adalah guru hermeneutika kecurigaan, sederet dengan Nietzsche, Freud dan Foucault. Mereka senantiasa mempertanyakan apa saja yang masuk kedalam kesadaran.

Sementara itu, Friederich Hegel dalam salah satu ceramahnya di tahun 1803-1804, menguraikan apa yang disebutnya sebagai "kehidupan yang menggerakkan diri sendiri." 

Di dalam kehidupan yang seolah menggerakkan dirinya sendiri itu, apa yang semula hidup seakan membeku, ibadah menjadi sekadar aturan ritual, yang disembah tidak lebih hanya menjadi berhala, apa yang etis menjadi hukum, pikiran menjadi formula, kesenian menjadi klise, alam menjadi proyek, dan benda yang berarti cuma benda yang setiap saat bisa ditukar dengan benda lain. 

Hegel adalah seorang yang sangat kritis terhadap praktik keagamaan di Jerman pada zamannya, tapi menjelang akhir hidupnya ia menjadi pendukung kuat gereja dan monarki.

Selanjutnya, mengutip pernyataan Yohannes Calvin dalam bukunya, Institutio, pada bagian penjelasan mengenai penciptaan dunia dan manusia, bahwa kita hendaknya janganlah mengajukan pertanyaan- pertanyaan yang tidak perlu di jawab. Kita perlu mengendalikan hasrat ingin tahu, dan tidak terlampau menginginkan perdebatan- perdebatan yang merugikan dan membingungkan. Kita harusnya tidak rela hanya untuk sekadar memuaskan mereka yang kesenangannya ialah membuat pemikiran teoretis yang bukan-bukan.

Lagi kata Calvin, adalah tolol kalau kita mencari rumusan tentang apa itu jiwa kepada para filsuf. Sebab para filsuf tidak mengetahui kerusakan kodrat manusia akibat hukuman yang dikenakan sesudah kejatuhannya ke dalam dosa.

Apakah hubungan di antara pandangan para sofis itu? Bahwa ada satu paradoks dalam pencarian akan kebenaran dan kebijaksanaan dalam hidup. Seolah terkadang filsafat bertentangan dengan teologia dan terkadang menjadi sekutu terdekatnya. Menjadi sedikit membingungkan, di saat orang-orang yang menghabiskan hidupnya memakai nalar dan logika sekuat tenaga guna mencari kebenaran dan kebijaksanaan justru yang tidak mempercayai adanya Tuhan? 

Tidakkah terlalu banyak mempertanyakan segala sesuatu sebagai tanda berfungsinya kesadaran justru membuat kita menjadi serba ingin tahu hingga diluar kendali, sehingga akhirnya yang ditemukan justru bukan kebenaran dan kebijaksanaan, melainkan beragam perdebatan yang sungguh sangat merugikan dan membingungkan. Maka yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi cemoohan, dan sebaliknya.

Barangkali dalam keputusasaannya melakukan pencarian berbekal semangat humanisme, manusia hanya akan sampai pada titik dimana tidak ada lagi yang lain dia temukan selain dirinya sendiri yang kebingungan. Barangkali karena itujugalah sebagian manusia yang menentang Tuhan pada akhirnya menjadi pendukung terkuatnya. Manusia menyesali kesadarannya yang diluar batas dan kendali. Manusia menyadari keterbatasannya. Sebagiannya lagi yang bertahan untuk menentang mungkin tumpas dan binasa dalam keangkuhannya.

Ada satu pengakuan dari Andreas Nikolaus Lauda, atau lebih dikenal dengan Niki Lauda. Ia adalah seorang mantan pembalap Formula 1 asal Austria dan menjadi juara dunia tiga kali pada ajang tersebut. Pada tahun 1976, dalam duelnya pada seri terakhir tahun itu sebagai pembalap tim Ferrari dengan rivalnya James Hunt yang membalap untuk tim McLaren, nyaris mengakhiri hidupnya saat balapan di tengah cuaca hujan lebat di sirkuit Fuji, Jepang. 

Balapan itu sendiri akhirnya dimenangkan oleh Hunt, karena Niki memilih meninggalkan balapan karena merasa cuaca sudah sangat membahayakan bila diteruskan, padahal Hunt tertinggal tiga poin di belakang Niki. Pada tahun itu, akhirnya Hunt tampil sebagai juara dan tentu saja Niki merasa kecewa.

Dalam kisah itu, kita bisa melihat bagaimana "kehidupan yang menggerakkan diri sendiri" bisa melahirkan sikap ingin menang yang begitu tinggi serta tidak mentolerir sedikitpun kekalahan, mengutamakan keuntungan lebih daripada keselamatan. Menghentikan perlombaan berarti menghentikan tayangan dramatis dalam tontonan dari berjuta pasang mada di depan televisi. 

Berhenti menghentikan tayangan berarti mengurangi keuntungan dalam bisnis. Dibalik drama itu masih ada lagi perasaan benci di antara dua rival, Niki dan Hunt.

Setelah kejadian itu, Niki mengajukan syarat yang tegas kepada Ferrari bila ingin ia tetap bertahan di tim, manajemen berjanji tidak akan mengulangi tindakan serupa. Seri selanjutnya, pada tahun 1977, Niki Lauda menjadi juara dunia. Ia banyak belajar dari pengalamannya. Meskipun ia sempat terlihat bermusuhan dengan Hunt, tapi tidak selamanya membenci Hunt.

Kisah tentang Niki telah diangkat menjadi sebuah film berjudul Rush, yang tayang perdana di London pada tahun 2013.

Kata Niki: "Jangan selalu membebani dirimu dengan anggapan bahwa memiliki orang yang memusuhi kamu adalah sebuah kutukan. Terkadang dengan adanya orang yang memusuhimu, mendorong lahirnya pengaruh baik untuk dirimu. Pada saatnya kau mungkin akan merasakan kalau dia yang kau musuhi adalah salah satu atau bahkan satu-satunya orang yang kau rindukan bahkan kau hormati."

Mari menanggalkan sikap kebencian. Pada akhirnya kita mungkin hanya akan menemukan sebuah guncangan pengenalan, bahwa dia yang kita benci mungkin akan menjadi yang paling kita hormati.

Selamat menyambut bulan Ramadhan bagi saudara-saudari yang menjalankan ibadah puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun