Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Menangisi Diriku Sendiri

16 Januari 2019   13:16 Diperbarui: 16 Januari 2019   13:24 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: assets.kompas.com

Sudah bukan hal yang mengherankan kalau setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam hidup. Kalau bisa memilih, umumnya manusia akan memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang kaya, mengenyam pendidikan yang baik dan setinggi-tingginya, memiliki mata pencaharian dan pekerjaan dengan penghasilan terbaik, membangun rumah tangga bersama pasangan yang gagah atau elok parasnya dengan anak-anak yang manis lagi baik, memiliki status sosial yang terpandang dan berada di antara orang-orang dengan lingkungan yang aman sentausa.

Tapi tentu saja selalu ada pengecualian dalam hidup, sebagai penanda bahwa manusia adalah makhluk berpikir yang memiliki akal, kesadaran, dan kehendak bebas, sehingga pilihan hidup setiap orangpun pasti berbeda. 

Berangkat dari itu, tentu ukuran kebahagiaan setiap orang pun pasti berbeda. Keingingan terhadap kebahagiaan sebagaimana diutarakan di ataspun mungkin saja tidak berlaku bagi segolongan manusia yang memang dengan kesadarannya memilih untuk menjadi berbeda. 

Orang-orang yang memilih untuk menjalani hidup yang sunyi sebagai filsuf, menjalani hidup dalam pencarian kebijakan dan mengajar sebagai pandita, brahmana, bhiksu, biarawan, biarawati, pertapa, atau bahkan orang-orang yang memilih menjadi bohemian, termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang hidup bebas seperti kebanyakan seniman, yang hidup mengembara dan tidak teratur serta tidak memikirkan masa depannya.

Terlepas dari apapun yang menjadi ukuran kebahagiaan seseorang, dipahami secara universal bahwa manusia umumnya menginginkan untuk diperlakukan oleh orang lain sebagaimana yang dia inginkan sehingga bisa merasakan kebahagiaan sebahagia mungkin. 

Namun, ada paradoks dalam pencarian sekaligus pemenuhan kebutuhan atas kebahagiaan yang menjadi persoalan sehingga kebahagiaan sukar dicari dan dihadirkan. 

Manusia tidak selalu memperbuat kepada orang lain apa yang mereka inginkan untuk diperbuat oleh orang lain kepada dirinya sendiri. Manusia mencari kebahagiaan, tetapi manusia sukar membagikan kebahagiaan, padahal kebahagiaan itu sebagaian berada di luar dirinya sendiri.

Tidak sukar menemukan fakta ironis, bahwa orang yang seharusnya memberikan kenyamanan justru yang menciptakan keresahan, orang yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban justru yang menyebabkan gangguan dan kekacauan, orang yang seharusnya menjadi teladan justru yang menjadi batu sandungan, orang yang seharusnya menyatakan kejujuran justru yang menyebarkan kebohongan. Manusia sering kali menghadirkan ketidakbahagiaan dalam pencariannya atas kebahagiaan.

Kenapa sangat sulit bagi manusia memperbuat kepada orang lain apa yang dia ingin orang lain perbuat kepada dirinya sendiri?

Mungkin ada banyak sekali pendapat yang bisa dijadikan alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Bahkan karena banyaknya, mungkin nyaris tidak ada yang bisa dijadikan alasan mutlak sebagai jawaban. Sama dengan relatifnya arti kebahagiaan dan kemungkinan untuk mencapainya. Barangkali karena itu pulalah mengapa lahir ungkapan dalam kitab suci yang menyatakan:

"Dalam masa hidup manusia, yang rata-rata tujuh puluh tahun, dan jika kuat mungkin sampai delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah
kesukaran dan penderitaan, sebab berlalunya buru-buru, dan manusia pun melayang lenyap."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun