Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keluarga sebagai Pranata Sosial yang Pertama dan Terutama

12 Januari 2019   01:44 Diperbarui: 3 Mei 2020   00:27 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : https://www.rimma.co

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 Tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran yang penting dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar senantiasa dapat menjadi keluarga sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.

Dalam membina dan mengembangkan kualitas keluarga tersebut diperlukan berbagai upaya, untuk mewujudkan 8 (delapan) fungsi strategis keluarga yang mencakup fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan. Delapan fungsi strategis keluarga tersebut, kalau ditilik secara definisi satu persatu dapat dijelaskan sebagai berikut:

  • Fungsi keagamaan dalam keluarga dan anggotanya didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
  • Fungsi sosial budaya memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan
  • Fungsi cinta kasih dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin
  • Fungsi perlindungan dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa aman dan kehangatan
  • Fungsi reproduksi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan taqwa
  • Fungsi sosialisasi dan pendidikan memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa depan
  • Fungsi ekonomi menjadi unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga
  • Fungsi pembinaan lingkungan memberikan pada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat terdiri dari suami-istri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Dengan demikian kehidupan keluarga yang merupakan pranata sosial pertama dan terutama, akan sangat menentukan keadaan masyarakat, bangsa dan negara.

Dengan kata lain, kesejahteraan sebuah negara bangsa ditentukan oleh kesejahteraan keluarga-keluarga di masyarakat, atau sebaliknya, runtuhnya sebuah bangsa mungkin sekali didahului oleh keruntuhan keluarga-keluarga, keruntuhan rumah tangga.

Bahkan, setiap anggota keluarga wajib mengembangkan kualitas diri dan fungsi keluarga agar keluarga dapat hidup mandiri dan mampu mengembangkan kualitas keluarga. Semakin rendah kualitas diri anggota keluarga, maka ketahanan keluarga juga akan semakin rendah.

Ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik-materil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.

Pengembangan kualitas diri dan fungsi keluarga dapat dilakukan melalui berbagai upaya, yang meliputi peningkatan pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial  budaya, mental spiritual, nilai-nilai keagamaan, dan peningkatan usaha kesejahteraan lainnya.

Melalui surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 411/640/SJ tanggal 17 Maret 2008 tentang Peringatan Hari Keluarga Nasional XV dan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat V Tahun 2008, dijelaskan bahwa Departemen Dalam Negeri (sekarang Kementerian Dalam Negeri) bekerjsama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) serta Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Pusat melaksanakan peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke-XV yang diintegrasikan dengan peringatan Gerakan Nasional Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat ke-V, yang dilaksanakan pada tanggal 29 Juni 2008 dipusatkan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

Selanjutnya diharapkan pelaksanaannya secara berjenjang di setiap provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia, dengan harapan dapat menggelorakan semangat gotong royong mulai dari keluarga-keluarga.

Penanaman nilai-nilai sosial budaya dalam aspek kegotongroyongan berawal dari kehidupan di dalam keluarga. Hanya bila nilai-nilai itu tumbuh dalam keluarga, potensi itu dapat didayagunakan, dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi dalam pembangunan bangsa, dimana keluarga menjadi wadah yang tangguh bagi terwujudnya ketahanan nasional Indonesia.

Nilai-nilai dan semangat gotong royong serta keswadayaan masyarakat, terutama melalui kehidupan keluarga, sebenarnya sudah ada, tertanam kuat dan mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita yang bercirikan adat istiadat dengan kearifan lokal setempat jauh sebelumnya.

Namun benarkah nilai-nilai dan semangat warisan leluhur itu masih ada, tertanam dan mengakar di keluarga dan masyarakat kita hari ini? Mari kita cermati bersama.

Dalam sebuah kesempatan koordinasi dengan seorang panitera muda hukum di lembaga Pengadilan Negeri setempat, saya dan seorang rekan kerja terlibat dalam sebuah obrolan santai yang sangat terbuka dengan aparat peradilan yang diluar perkiraan saya.

Fakta dan fenomena yang melekat sebagai wajah lembaga penegakan hukum dan peradilan kita, tidak terlepas juga lembaga birokrasi pemerintahan di negeri ini, yang sudah sangat lekat dengan kesan arogan, penuh ruang abu-abu bahkan ruang gelap, dengan berbagai bahasa bercabang yang mengarah kepada kepentingan terselubung, barangkali walaupun belum hilang sepenuhnya, sepertinya memang perlahan semakin bergerak kearah kesadaran untuk semakin memperbaiki diri.

Karena itu perbincangan berlangsung terbuka dan tanpa pretensi untuk saling melindungi diri bahwa masing-masing merasa dan mengaku dengan jujur, ya, masih banyak yang perlu diperbaiki, tapi kita sedang berjuang melakukannya.

Dari perbincangan itu terungkap sebuah fenomena, setidaknya melalui fakta persoalan hukum yang tercatat di lembaga peradilan, bahwa ada dua kasus yang paling banyak disidangkan hari-hari kini, yakni masalah penyalahgunaan narkoba dan kasus perceraian.

Permasalahan ini, adalah masalah yang terjadi hampir merata, setidaknya sesuai hasil sharing informasi dengan rekan sejawatnya sesama panitera pengadilan dari berbagai daerah yang terkomunikasi pada kesempatan rapat-rapat koordinasi di kalangan mereka. Itu hanya dari kasus yang tercatat, belum lagi barang kali banyak kejadian dan kasus yang tidak tercatat? Seperti fenomena gunung es.

Sebuah fakta hari-hari kini yang sangat berkebalikan dari tujuan dan fungsi ideal sebuah keluarga sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini. Hampir dalam setiap slogan, motto, visi misi, bahkan di dalam dasar negara kita Pancasila, soal ke-Tuhan-an dan agama di tempatkan di tempat yang paling pertama. Mungkin untuk menegaskan bahwa itu adalah sebuah bentuk "kesadaran" bangsa kita akan pentingnya soal religiusitas dalam kehidupan.

Lalu mengapa seakan semua tidak ada maknanya, ketika faktanya anggota-anggota keluarga bahkan tidak mampu saling menjaga jangankan meningkatkan kualitas dirinya?

Semakin banyak keluarga yang kehilangan masa depan dan ketahanan karena anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak yang kecanduan narkoba. Semakin banyak kasus perceraian, bahkan dari pasangan usia muda.

"Apa yang salah dengan kampung halamanku? Batinku."
"Bukankah di sini banyak berdiri gereja, banyak masjid dan banyak ibadah-ibadah?" demikian kata bapak itu.
Lalu, saya bertanya, "Jadi, kalau menurut Bapak, apa yang salah dengan kita, Pak?"
"Setelah saya merenungkan, saya rasa masalah itu ada dan bermula dari keluarga-keluarga kita hari ini" jawabnya.

Patut kita pikirkan, sekalipun mungkin terdengar klise karena sudah sering juga berulang kali diperdebatkan, dan juga mungkin sudah sedikit agak ketinggalan, seperti tetangga kita Malaysia, misalnya, yang berencana kurangi fokus pada pelajaran agama, sebagaimana dilansir oleh KOMPAS.com edisi Jumat 11 Januari 2019.

Sesuai pengakuan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pada jamuan makan malam tahunan almamaternya Sultan Abdul Hamid College (SAHC) di Kuala Lumpur pada tanggal 22 Desember 2018 yang lalu.

Katanya, "Kita masih akan belajar agama, tetapi ini tidak akan menjadi satu hari penuh, karena kita tidak ingin siswa hanya tahu cara melafalkan doa, tetapi kurang pengetahuan dalam mata pelajaran lain."

Lagi katanya, "Dan kemudian kamu memiliki terlalu banyak ulama, mereka selalu berbeda satu sama lain dan kemudian mereka menyesatkan pengikut mereka dan mereka bertengkar satu sama lain. Itulah masalah yang kita hadapi sekarang. Dan karena itu, kami akan mengubah jadwal, kurikulum di sekolah-sekolah."

Tantangan dewasa ini di Malaysia, sebenarnya adalah tantangan nyata yang juga terjadi di negeri kita. Tidak terbatas pada satu aliran agama, tidakkah sesungguhnya religiusitas kita pada kenyataannya justru senantiasa cenderung menjadikan Dia sebagai korban ketimbang menempatkanNya sebagai pencipta yang maha segalanya?

Dalam konteks ini, simbol-simbol religius asimetris yang tidak dipahami secara utuh, menyebabkan agama yang seharusnya berfungsi memberikan petunjuk-petunjuk, terkadang ditangkap sebagai petunjuk yang keliru. Kita menjadi keliru menempuh arah dalam sebuah perjalanan guna mencapai keutuhan psikologis.

Keutuhan psikologis berakar pada gagasan untuk mengintegrasikan benak sadar dan benak tak sadar. Materi alam tak sadar yang personal diberi nama "sang bayangan" oleh Carl Gustav Jung (1875-1961), seorang psikiater Swiss dan perintis psikoanalisis bersama Sigmund Freud. Eksplorasi terhadap alam tak sadar personal dan kualitas bayangannya memberi akses terhadap alam tak sadar kolektif. Materi alam tak sadar kolektif bersifat non spesifik, yang merupakan pola atau bentuk yang mendapatkan kepribadian tertentu saat bermanifestasi di alam sadar pada konteks masyarakat tertentu.

Baca Juga : Perjalanan Manusia Profan dalam Upaya Menjumpai Dia, Sang Numinosum

Kembali ke pembahasan tentang fungsi keluarga, saya sepakat dengan pandangan bahwa dalam hubungan antara suami dan istri, selagi masih muda penting untuk saling mencintai dan menyayangi pasangan kita dalam kemesraan dan gairah yang membara, karena itu hanya sementara.

Selebihnya, dalam sisa masa hidup yang sangat singkat bersama pasangan kita, tinggal hanya rasa kasih sayang dan kesetiaan, pengabdian dan komitmen dalam rumah tangga.

Jangan kita mudah sekali mengutuki keadaan di sekitar kita, tanpa terlebih dahulu melihat jangan-jangan ada yang salah dalam keluarga kita sendiri.

Melalui keluarga, anak seharusnya mendapatkan pendididikan pertama dan terutama untuk memiliki hati yang mencintai sesama manusia dan  menjalankan kehidupan dengan penuh kebajikan.

Bila sejak muda menjalankan hidup penuh kebajikan, maka di masa tua ia akan menuai berkat, tidak saja bagi dirinya, tapi juga bagi keluarga, masyarakat dan negara. Keluarga kita ikut bertanggung jawab dan menentukan seperti apa desa, kota, bangsa dan negara yang akan kita sanjung puji atau sebaliknya kita caci maki nanti.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun