Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Allopurinol dan Divoltar Vs Senduduk

3 November 2018   00:04 Diperbarui: 3 November 2018   00:13 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melastoma atau Senduduk dalam Bahasa Karo (wikipedia)

Pada suatu hari seorang bapak menyambangi apotek pada jam makan siang. Penampilannya eksentrik dengan gelang besi bertuliskan marga Tarigan, mengenakan kemeja dan jeans, sepatu sneakers warna merah dan muka dihiasi kumis tebal serta cambang yang lebat namun rapi. Dia memesan obat bermerek Allopurinol dan Divoltar, obat yang biasa dipesan oleh pembeli dengan keluhan penyakit asam urat. Maka paradoks pun dimulai.

Awalnya, ia tidak tahan untuk tidak bercerita karena melihat anak-anak, ketiganya duduk tenang berhimpitan di atas sebuah sofa lapuk sambil memainkan telepon genggam android. Mereka bertiga menonton tutorial sebuah game anak-anak. Si bapak ini pun bercerita bahwa dia punya lima anak, empat di antaranya perempuan dan satu orang laki-laki. Anak-anaknya kini semua sudah dewasa, bahkan empat diantaranya sudah berumah tangga, tinggal satu anak perempuannya yang belum menikah. Katanya, sedari kecil anak-anaknya tidak pernah diizinkannya bermain telepon genggam, baru setelah kuliah dia mengizinkannya. Paradoks yang pertama, pada zaman anak-anaknya masih kecil, mungkin di kampung kami ini belum ada telepon genggam. Wajar saja anak-anak pada masa itu tidak pernah bermain telepon genggam. Perilaku anak-anak yang ketagihan bermain gadget sungguh suatu tantangan tersendiri bagi orang tua dalam membesarkan anak-anak di masa kini. Bagaimanapun juga, seorang bapak yang membesarkan anak-anak di masa dimana gadget belum seperti sekarang ini tetap patut didengarkan nasihatnya tentang kiat mendidik anak.

Bapak ini adalah seorang pensiunan guru SD, usianya sudah tujuh puluh dua tahun, jadi dia sudah dua belas tahun menjalani masa pensiun. Dia memiliki minat dalam hal-hal yang berkaitan dengan edukasi, sejarah dan humaniora. Dia menceritakan masa kecilnya bersama dua saudaranya yang lain, ditinggal ayah ibunya di kampung bersama kakek dan neneknya. Hingga SMP kelas dua dia bersekolah di Berastagi, ia sendiri tinggal di Desa Basam. Setiap hari ia berjalan kaki pulang pergi ke sekolah, jaraknya mungkin mencapai delapan kilo meter. Berangkat ke sekolah ia tidak pernah makan pagi, sampai di rumah ia baru makan pada jam tiga sore setiap hari. Kenapa dia bisa sehat, karena dalam perjalanan pulang semua biji-biji, buah-buah, dan daun tanaman liar di sepanjang jalan yang tidak membuatnya muntah dan merasa gatal ia makan. Paling disukainya saat melewati kuburan China, yang saat ini berdekatan dengan sebuah hotel dan wahana permainan Mickey Fun Land di Berastagi. Apalagi pada musim perayaan imlek, penjaga kelenteng di sekitar kuburan itu kadang suka mempersilakan dia dan kawan-kawannya mengambil buah-buah berkualitas super, kue bakul, kue bak pau yang dipersembahkan orang-orang itu kepada leluhurnya. Pelajaran pertama, apapun yang tidak membuat perut sakit dan gatal-gatal bisa dimakan, katanya. Bapak ini masih sehat, hanya sedikit asam urat pada usianya yang tujuh puluh dua tahun.

Ayah dan ibunya adalah petani penggarap yang mengolah sawah di sekitar daerah Medan. Pada waktu itu adalah masa revolusi, tidak lama sebelum pemberontakan PKI pada tahun 1965. Akibat ekonomi yang sulit, ayahnya mendaftar ke Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi massa petani yang dihubungkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). BTI didirikan pada 25 November 1945. BTI berjuang untuk reformasi tanah, dengan mendaftar menjadi anggotanya, ayahnya dijanjikan bidang sawah yang lumayan luas untuk dikelolanya di sebuah tempat yang sekarang bernama Kutalimbaru. Sejak bergulirnya penumpasan PKI pada tahun 1965, BTI ditekan bersama dengan PKI. Bahkan setelah mulainya masa orde baru, bukannya mendapatkan lahan sawah, ayahnya malah dipekerjakan sebagai pekerja paksa yang bekerja tanpa dibayar dengan dalih sebagai upaya pembinaan bagi para eks PKI serta pemulihan keamanan ketertiban masyarakat. Paradoks yang kedua, pemulihan keadaan justru membuat ayahnya yang miskin menjadi pesakitan sebagai pekerja paksa. Hanya bermodalkan selembar tikar, sebuah tenda, cangkul dan pakaian yang melekat di badan, ayahnya dan serombongan besar kaum laki-laki yang dulunya anggota BTI disuruh bekerja membuka lahan di kaki gunung yang sekarang menjadi bumi perkemahan Pramuka di Sibolangit Sumatera Utara. Pemulihan keamanan dan ketertiban masyarakat justru membuat si bapak ini terputus dari tanggung jawab sebagai seorang ayah dan kepala keluarga yang sudah tidak memiliki apa-apa, apalagi menghasilkan sesuatu buat keluarganya.

Singkat cerita, si bapak ini pun merantau ke Pancurbatu menamatkan pendidikan SMP pada tahun 1966. Tinggal di perantauan dia hanya membawa bekal baju di badan, sedikit buku, sebuah periuk, sebuah teko tempat memasak air minum, tanpa piring untuk makan. Kata si bapak, dia tidak pernah membeli sayuran tetapi setiap makan selalu pakai sayur. Bagaimana tidak, dalam perjalanan pulang sekolah dia selalu menyempatkan diri singgah di pasar tempat bongkar muat sayur-mayur yang diangkut dari kampung-kampung di pegunungan. Di sana ia memungut tomat yang dibuang karena sedikit membusuk, daun pere yang tercecer atau dibuang penyortir, buncis yang patah dan dicampakkan seenaknya, semua dipungutnya untuk dijadikan "lauk". Sayuran beraneka macam itu dicucinya dan dirajang untuk dikukus di dalam periuk bersama nasi yang ditanak, tidak pernah ada ikan atau daging sebagai lauk pauk. Makan pun langsung di periuk karena piring tidak ada. Paradoks yang kesekian, seseorang yang tidak mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna bisa hidup sehat sampai usia yang ke tujuh puluh dua tahun dan memberi nasehat untuk mengkonsumsi makanan beragam, bergizi dan berimbang kepada orang muda yang sudah menderita asam urat sejak dini.

Begitu setiap hari hingga si bapak menamatkan pendidikan SMA di Medan. Pada tahun 1970, dia sempat mengecap bangku kuliah, di Universitas Nomensen Medan fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Karena ayahnya sudah kurus kering dihisap kerja paksa, tidak mungkin lagi ia bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Si bapak ini pun terhenti di semester empat kuliahnya, dikeluarkan dari kampus karena tak mampu membayar biaya kuliah. Nasib pada masa itu membawanya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil, guru Sekolah Dasar di Tanjung Barus, sebuah kampung di dekat tempat tinggalnya. Apa yang dia ceritakan mungkin sudah kali kesekian dia ceritakan kepada siapapun yang mau mendengarnya dimana pun dia berhenti. Katanya, ajarlah anakmu apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukannya sejak masa kecilnya sehingga kelak di masa dewasanya dia tidak minta digendong seperti anak kecil.

Saya menghargai antusiasmenya bercerita dengan mengulang jenis daun-daun liar yang dia lahap di perjalanan pulang sekolah saat dia SD dulu. Saya hanya ingat daun Senduduk, tanaman liar yang tumbuh di tepian ladang almarhum kakek saya yang juga seorang guru SD semasa hidupnya. Astaga, dia kembali bercerita penuh semangat karenanya, padahal di awal cerita dia tidak ada menyebut daun Senduduk. Sebelum dia membayar Allopurinol dan Divoltar yang akan dibelinya untuk mengobati asam uratnya, dia menjelaskan sebuah resep obat tradisional Karo. Paradoks terakhir, seseorang yang membeli obat di apotek menjelaskan khasiat obat tradisional. Katanya: "ambil segenggaman tangan daun Senduduk, rebus dengan air sebanyak lima gelas Duralex kecil, hingga air rebusannya tinggal kira-kira empat gelas. Minum satu gelas setiap hari, setelah empat hari maka dijamin tidak akan mudah masuk angin, dan pinggang menjadi sehat. Anak-anak juga baik meminumnya agar tidak mudah mual dan muntah di perjalanan, baik darat, laut dan udara. Dimana-mana kita jaya, kata bapak itu.

Setelah mencari dari berbagai sumber di internet, akhirnya saya mendapati kalau Senduduk berbunga ungu, atau disebut juga Akar Kala, atau bahasa Latinnya Melastoma malabathricum, merupakan tumbuhan yang tergolong tumbuhan pengganggu bagi pertanian di ladang atau kebun. Terdapat dua jenis tumbuhan Senduduk berdasarkan bunganya, yaitu ungu dan putih. Umumnya Senduduk berbunga ungu tumbuh di antara belukar, atau di ladang-ladang terlantar. Senduduk putih jarang didapati tumbuh secara liar, namun tumbuh pada ladang-ladang yang diusahai petani. Dalam pengobatan tradisional, Senduduk berbunga putih dijadikan obat bagi orang yang terkena racun di Malaysia, sedangkan Senduduk berbunga ungu bagi orang Karo sering dipakai sebagai obat amandel, selain untuk obat sebagaimana cerita bapak di atas. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun