Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Right or Wrong is My Country

1 Oktober 2020   09:50 Diperbarui: 1 Oktober 2020   11:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Serangan PM Vanuatu, Bob Loughman  di Sidang Umum PBB (29/9) soal pelanggaran HAM di Papua, lebih menunjukkan memang kemampuan PM tersebut hanya segitu. Tak lebih. Ia selalu kehabisan isu untuk memojokkan Indonesia dan rupanya otak dan mulutnya terkunci untuk bicara isu lain yang cukup produktif. Dengan demikian, harap maklum memang kelas PM Vanuatu baru sampai level itu.

Bisa jadi, apa yang dilontarkan PM Vanuatu hanya komoditas pengalihan isu domestik di negerinya. Barangkali, apa yang dia cuapkan di forum PBB hanya bagian menutupi kekurangan dan kelemahan rumah tangga Vanuatu. Beragam kemurungan tak sempat dikeluarkan, dan ia lebih memilih menindih Indonesia dengan diksi-diksi subordinat. Ajining diri gumantung ono ing kedaling lathi, harga diri bergantung omongannya.

Jika PM Vanuatu merasa peduli HAM di Papua bukan seperti itu caranya di hadapan publik dunia.  Apa yang diutarakannya justru mengindikasikan Ia tak peduli dan bukan merepresentasi Papua, tapi secara implisit Ia jauh lebih bersepakat dengan aktifitas gerakan sparatis, klandestin Papua.

Sebagai bangsa besar, banga Indonesia tak perlu berlebihan menanggapi apa yang keluar dari lidah PM Vanuatu. Kita masih punya Pancasila, yang selalu mengedukasi, memandu dan membantu kita dalam berperilaku, baik di luar maupun di dalam negeri. Pancasila selalu mengajarkan teposliro, empati dan peduli atas berbagai PR bangsa maupun problematik dunia.

Semuanya perlu dibicarakan secara baik, duduk bersama, tak perlu merasa gerah, saling menghormati dan inklusif atas lalulintas pendapat yang terjadi. Semangat kita perubahan bukan pembiaran, spirit kita konstruktif bukan doktrinatif, tekad memberdayakan bukan mempedaya, itikad pembinaan bukan penyerangan, komitmen kita persatuan bukan perpecahan.

Maka kemudian, kita butuh mawas diri. Apakah ucapan kita, lontaran kita, tulisan kita, suara kita tak melukai pihak lain, apakah tak menyinggung negara lain atau apakah kearifan kita, kesantunan kita maupun penghormatan kita hanya berkibar kala kita di baik-baikin, dipuja-puja atau dielu-elukan, disanjung dan di jempol.

Tetapi pada aras lain manakala kita atau negara ini diganggu orang lain, pihak lain lewat cara-cara yang mungkin tak terhormat, tak arif dan tak santun, barangkali seperti ekspresi PM Vanuatu di PBB kala itu, lantas kita dengan naluri, reflex atau insting reaktif ganti membalas dengan cibiran, cemooah, makian, gerutu dan narasi kontarproduktif lainnya.

Jika demikian, nampaknya kita masih harus belajar banyak soal toleransi, etika juga profesional. Reaktif lebih mengilustrasikan ketergesa-gesaan, keterburu-buruan dan sama sekali belum menyentuh pada kematangan. Meski kita ngelus dada tapi bukan saat yang tepat kita membantainya dengan kata-kata kasar, kotor dan kekerasan verbal lainnya yang lebih pada ihwal bullying.

Apa yang dilakukan diplomat muda bernama Silvany Austin Pasaribu yang menghentak balik perwakilan negara Vanuatu sudah tepat, tapi harus berpikir 1000 kali bagaimana caranya memberikan pelajaran yang jauh lebih telak ke Vanuatu. Karena sejak beberapa tahun terakhir Vanuatu rajin menyerang Indonesia pada forum internasional PBB. Ini mungkin soal watak yang suka menyampuri urusan negara lain atau dia sedang mencari panggung, menghimpun balakurawa lain.

Kasus Vanuatu di PBB yang intinya menyerang Indonesia membawa domain ke seluruh dunia tahu, dan tak sebatas komunitas kita, seperti kompasiana saja, tapi di sini juga ada anak-anak kita, anak muda kita, mereka butuh keteladanan. Maka kemudian penting bagi kita untuk menjaga narasi kita, ucapan kita, ujaran kita, berita kita dan tentu yang positif produktif, bukan sebaliknya.

Tuna Budaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun