Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Tol Ramah Pedesaan

14 Juli 2020   12:15 Diperbarui: 14 Juli 2020   12:18 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah beberapa waktu jalan Pantura atau ruas Daendels sedikit lega, paska jalan tol trans jawa, dari jakarta hingga banyuwangi terus beroperasi meski secara bertahap pemerintah menyelesaikan konstruksi infrastruktur tersebut yang tentu tak sedikit menyerap anggaran.

Memang jer basuki mawa bea, walaupun keluar banyak dana untul jalan tol, sedikitnya mampu mereduksi beban jalan Pantura sekarang. Artinya anggaran untuk jalan Daendels pun juga beringsut bisa dihemat, karena perbaikan jalur Pantura selama ini rumor yang beredar sebagai proyek abadi. Label itu tentu kurang tepat, karena kondisional jalan harus diperbaiki, lain tidak.

Lantas, apa korelasinya jalan tol dengan ekonomi pedesaan atau kerakyatan kita? Banyak yang bisa didapatkan dari proyek jalan tol, tapi juga tak sedikit yang senyap bahkan lenyap sebagai efek domino pembangunan tol ini. 

Jika dulu sebelum tol jateng, yakni mulai dari Brebes hingga sragen, telah berdiri banyak sektor ekonomi riil menggantungkan hidupnya dari kawan baik pengguna jalan Pantura.

Seperti warung makan, hotel, panti pijat, pedagang asongan maupun gerai-gerai yang memunguti rejeki jalur Pantura. Pemandangan itu mulai berubah sejak ada Tol, meski tidak secara total, untuk mampirnya para pengguna jalan yang sedikit menaburkan recehannya di jalan lama itu.

Kini tol trans jawa telah membantu mengurangi kemacetan kota atau sepanjang Pantura, beruntungnya lagi, secara tidak langsung jalan tol telah melemahkan kalau tak disebut mematikan praktik ekonomi underground, semisal karaoke liar, panti pijat ilegal, drugs dan bisnis remang-remang (prostitusi), dan sebagainya. Di luar itu, arus ekonomi masyarakat menjadi tak tersendat khususnya transportasi dari desa ke kota.

Diakui, beberapa ruas jalan tol telah berubah menjadi destinasi wisata yang menarik, seperti ruas tol Salatiga yang memesona dengan view pegunungan merbabu-merapi. Hal ini tentu menarik pengguna jalan untuk ber-swafoto atau sekadar mampir sejenak mencicipi wisata kulinernya. Sejak Brebes pun sejatinya kita dapat memanfaatkan munculnya jalan tol sebagai upaya ekspansi pemasaran bagi UMKM maupun usaha ekonomi produktif masyarakat pedesaan.

Di ujung barat Jateng kita bisa menikmati lezatnya telor asin dan sate blengongnya, kemudian tegal bersama hangatnya teh poci juga di pemalang, pekalongan dan batang kita pun bisa blusukan beroleh batik dengan harga terjangkau tapi tetap berkualitas.

Lain lagi di Kota Semarang dengan lumpia, wingko babat maupun bandeng prestonya, Salatiga dengan panorama tol terindahnya, Boyolali dengan wisata susu perahnya, kemudian Solo dengan berbagai motiv batik, kuliner thengkleng, nasi timlo juga produk utama lainnya.

Simpul-simpul tol itu punya prospek ekonomi yang cukup menantang, karena di sepanjang tol itu juga telah dilengkapi  dan ditambahkan beberapa rest area baru yang memadai untuk melepas penat. Di beberapa titik itu ada mini market, coffe maupun usaha yang hanya dimiliki pengelola jalan tol.

Paradoksal memang, ketika jalan tol merangsek, membelah wilayah pedesaan tentu sebagian mata pencaharian dan ruang-ruang ekonomi warga juga turut tergusur. Sementara mereka susah untuk mengakses produk usahanya memasuki jalan tol, tepatnya di rest area. Sedangkan untuk membuka gerai atau counter mandiri di lokasi strategis yang berdekatan jalan tol, harga sewa lahan atau belinya sudah melangit.

Suka tidak suka, jalan tol telah memberi warna dan pilihan usaha bagi warga desa. Efek tol begitu dahsyat bagi kebangkitan dan kemamuran desa. Satu sisi, perumahan dan permukiman warga yang terkena proyek tol mendapatkan ganti untung berikut tetanaman di dalamnya. Namun pada segi lainnya, beberapa lahan pertanian pedesaan pun juga menguap artinya hilangnya sebagian mata pencaharian petani pedesaan.

Tersebab skill mereka pun belum bisa diandalkan untuk keluar sebagai petani maupun sekadar buruh tani. Untuk beralih profesi pun bukan perkara mudah bagi mereka. Bahkan, barangkali produksi pertanian juga mengecil, kedaulatan pangan cakupan desa bisa jadi terimbas.

Dalam relasi demikian, pemerintah bisa memberikan pelatihan usaha ekonomi produktif warga berbasis potensi desa dengan sentuhan teknologi tepat guna. Atau mengupdate petani dengan kemampuan off farm sekaligus on farmnya. Pendeknya, masyarakat diberdayakan dari hulu hingga hilir, sehingga masyarakat tak gagap dan teralienasi dengan kelokalannya. Diversifikasi profesi menjadi alternatif yang layak ditempuk oleh warga melalui pendampingan pemda.

Pemberdayaan Masyarakat

Setiap kebijakan, setiap proyek pun program akan melahirkan pro-kontra, plus-minus bagi siapapun. Kita tentu tak menolak kala BUMDes juga bisa menjadi bagian pemilik saham tol, sebagian UMKM dijinkan menempati rest area, sewa murah atau terjangkau. Atau mungkin bisa dibalik sebetulnya, UMKM meningkatkan kualitas produknya dan petani dengan komoditas terbaiknya sehingga bisa dijajakan di rest area jalan tol, namun pemda yang justru merelakan anggarannya untuk menyewa lahan bagi para pelaku usaha kerakyatan ini.

Di luar itu, dengan jalan tol praktis RTRW Pemda maupun regulasi LP2B pun menyarankan untuk ditataulang lagi, karena jelas berkurangnya lahan pertanian dan sebagian permukiman maupun area konservasi, seperti RTH dan sabuk hijau lainnya. Mungkin bisa dipertimbangkan juga, soal pelibatan warga desa dalam pembangunan jalan tol, misalnya saja tenaga kerja ringan bukan ekspert. 

Mungkin lagi, bisa ditolerir masyarakat desa masuk pada wilayah pekerjaan pra tol, seperti pembersihan lahan, pemasok bahan baku material skala ringan atau kecil yang mendayagunakan sumberdaya/potensi lokal. Atau saat pembangunan, pastilah terjadi transaksi pada warung/toko terdekat di desa tersebut. Ini adalah bagian dari memberdayakan masyarakat, sehingga warga merasa harga diri dan kemanusiaannya diperhatikan pemerintah. Hal lainnya, yakni perlu dipikirkan kompensasi atau alokasi anggaran untuk kerusakan jalan desa/kampung tatkala terjadi kemacetan dan lalulintas jalan diarahkan dan dialihkan membelah permukiman desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun