Ada yang menarik dari sindiran Jokowi pada acara dies natalis IPB ke-54 di Dermaga, Bogor beberapa tahun lalu, "lulusan IPB banyak yang kerja di bank, lha yang jadi petani siapa?"
 Pertanyaan itu cukup tajam dan sesungguhnya bukan saja IPB kampus produsen ilmuwan pertanian yang kesodok, tapi seluruh kampus yang punya fakultas pertanian, mahasiswa pertanian dan srjana pertanian kita. Â
Pertanyaan RI 1 di atas, mengingatkan dan menggenangkan  kita pada sosok Karsim Arifin, Tahun 1964 ia dikirim Fakulas untuk membina petani di Waimital Pulau Seram Maluku, meningkatkan hasil tanaman dan ternak mereka.Â
Kasim menolong masyarakat desa untuk menjadi mandiri. Bersama-sama ia membuka jalan desa, membangun sawah-sawah baru, membuat irigasi, dan semua itu dilakukannya dengan swadaya.
Barangkali, Jokowi memaklumi tatkala persaingan sarjana yang berebut memperoleh pekerjaan diberbagai sektor jasa, perdagangan, perbankan maupun pertanian di luar sektor pemerintahan.Â
Mungkin Pak Jokowi hanya berpikir, mengapa kampus tidak menggenangkan fighting spirit bagi lulusannya untuk bersetia mewakafkan dirinya menekuni profesi sebagai petani.Â
Tentu bukan petani yang menderita, bukan petani yang sertifikatnya tergadai di bank, bukan petani yang acap ditikam para lintah darat juga bukan petani yang rewel. Tapi petani modern, profesional dan menginspirasi.Â
Mereka harus punya ide-ide segar untuk membangkitkan dan memakmurkan kesejahteraan petani. Tapi nyatanya, profesi petani kita masih dipandang sebelah mata, tak berkelas, si miskin dan kusam nasibnya, dan predikat nyinyir lainnya.
Negeri ini kurang apa, bangsa ini hidupnya ditopang oleh kaum tani yang selalu bermurah hati. Sekarang kita mungkin hanya bisa ngelus dada, saat pertanian kita terpuruk dan kesejahteraan petani dipermainkan, para kaum intelektual  pertanian justru malah menikmati profesinya pada ruang lain. Inilah yang acap kita sebut voyeuristik sarjana kita.
Seakan mencecapi betul dunia yang sudah menceraikan dari ibu kandungnya, pertanian dengan ruang ber-AC, wangi parfum, berdasi, dll, tapi di belahan lain pertanian ambruk, petani menjerit dan profesi petani tak mampu dibanggakan.
Regenerasi petani, nampaknya menjadi satu problema yang harus diurai sebelum semuanya berganti ke pemilik modal dan akhirnya petani hanya menjadi budak baru pertanian.Â