Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menakar Banditisme dalam Kasus Mesuji

22 Desember 2011   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal kasus Mesuji mencuat ke permukaan, secara pribadi saya sangat meragukan keabsahan informasi yang dibeberkan media massa. Ada bagian tertentu yang gelap-gulita dan menyimpan rahasia besar. Sebagai praktisi perkebunan kelapa sawit beserta segala lika-likunya, saya menangkap kemustahilan dalam pemberitaan itu, sebagai berikut.

1.Tidak mungkin kasus sebesar itu terpendam hampir setahun. Di era teknologi informasi sekarang ini dimana tak ada tempat yang tak dijangkau media massa. Dibutuhkan usaha ekstra-ordinary sekelas pengamanan penjara Guantanamo untuk merahasiakan kejadian mengerikan itu selama hampir setahun. Tapi itulah kenyataannya. Wartawan tahu kejadiannya tetapi tidak mendatanginya dan tidak memberitakan apa pun mengenainya (bukan karena tidak mengatahuinya) karena alasan-alasan khusus.

2.Tidak mungkin anggota TNI/Polri terlibat langsung dalam tindakan biadab itu, mengingat persoalan yang dihadapi adalah sengketa lahan dan objek yang dilindungi adalah perusahaan perkebunan asing.

3.Tidak mungkin manajemen perusahaan menggusur pemukiman warga tradisional, apalagi merestui perbuatan keji penggal kepala. Bagi mereka, setiap konflik adalah lonceng kematian bagi perusahaan. Karena itu mereka akan menghindari konflik dengan mengalah. Bahkan mereka menutup mata dari pencurian kecil-kecilan oleh penduduk sekitarnya.

Sekarang, setelah kejadian itu diekspos secara besar-besaran di media massa, perlahan-lahan diketahui bahwa korban pemenggalan adalah pegawai perusahaan, dan pelakunya adalah warga masyarakat. Dalam wawancara di televisi beberapa hari lalu, perwakilan warga mengakui penyerbuan dilakukan untuk mencari kawan mereka yang diisukan ditahan di kantor itu. Karena tidak menemukannya akhirnya mereka mengamuk, merusak, membakar, membunuh, memenggal. Ternyata kemudian kawan yang dicari berada di desa lain, sedang jalan-jalan, tak kurang suatu apa.

Berarti pelaku kejahatan itu adalah warga. Jika demikian terjawablah kemustahilan di atas. Mereka bukan warga pedesaan biasa, tetapi sekumpulan bandit. Mereka tidak memerlukan belas kasihan dari siapa pun, melainkan mereka-lah yang seharusnya mengasihani pegawai perusahaan itu. Tiga orang di antaranya yang tampil di televisi mengindikasikan sinyalemen itu. Sedangkan Pak Haji yang memakai gigi palsu itu, ia tidak setulus gelar yang disandangnya. Diam-diam, dalam penampilannya yang tampak lugu, ia mengantongi lahan plasma seluas 400 hektar. Itu setara dengan Rp. 2,5 milyar setiap bulan. Lebih dari setengah hak masyarakat berada dalam genggamannya!

Dengan demikian, segala kemustahilan di atas menjadi terjawab. Wartawan tidak memberitakannya karena tak berani mendatangi lokasi kejadian secara langsung, demi menghindari resiko. Warga pasti tidak menginginkan kejjahatan mereka diungkap apa adanya!

Itulah hasil analisa saya mengenai kejadian itu.

*****

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun