Mohon tunggu...
Sabda13
Sabda13 Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tertutup | Mahasiswa

Tulisan yang dibuat bukanlah kebenaran mutlak. Hanya berupa sudut pandang penulis yang masih belajar. Oleh karena itu sangat terbuka pada diskusi terhadap kesalahan yang dibuat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menjual "Hijrah Perjuangan" Pemuda Indonesia

13 Oktober 2019   17:43 Diperbarui: 18 Oktober 2019   21:04 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi fenomena hijrah (Kompas/TOTO SIHONO)

Fenomena hijrah baru mulai dikenal disaat Orde Baru. Dalam buku Ariel Heryanto (2015) berjudul Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya Layar Indonesia, dimana ini merupakan permainan politik Soeharto. 

Kelompok Islam yang sebelumnya dianggap ekstrem kanan dirangkul oleh Soeharto untuk menguatkan posisi politiknya yang tengah melemah.

Pada saat itu, umat Islam Indonesia digembor-gemborkan untuk bebas melakukan syariatnya tanpa takut dicap jelek. Kerudung tidak lagi dilarang, kelompok Islam mulai muncul dan bertebaran dengan menyuarakan aspirasi politik secara terbuka. Dalam konteks ini, hijrah merupakan dampak turunan dari kebijakan tersebut.

Bukan suatu yang buruk. Dari strategi Soeharto tersebut, muslim Indonesia mulai melakukan islamisasi dalam berbagai bidang. 

Nilai-nilai hukum dimasuki syariat Islam, mulai banyak intelektual islam turut ikut berjuang dalam ranah pemerintahan tanpa takut dengan identitas, ulama semakin menanjak dan dikagumi masyarakat, sekolah agama menyebar di mana-mana dan perekonomian syariah mulai dikenal.

Jauh sebelum Orde Baru yang dikenalkan Ariel Heryanto sebagai awal mula hijrah umat Islam Indonesia. Negara kita sudah melakukan proses hijrah dari penjajahan menuju kemerdekaan. 

Pahlawan dengan mayoritas muslim didukung rakyat Indonesia berjuang dengan kebenaran, bahwa tidak ada yang berhak untuk dijajah. Mereka tidak hijrah seperti yang kita kenal dalam sejarah Nabi, yakni berpindah dari Makkah dan Madinah. 

Tapi para pahlawan kita memaknai hijrah Nabi untuk tidak diam dengan kemungkaran, memperjuangkan hak mereka sebagai manusia yang bebas serta menegakkan nilai Islam yang mulai di-Barat-kan penjajah.

Kemudian, perjuangan pemuda Indonesia di Mesir sebelum kemerdekaan juga harus disoroti. Langkah ini dibendung oleh pelajar dengan beasiswa Belanda dan menjadi salah satu poros penting gerakan hijrah Indonesia di luar negeri. 

Mereka sudah dikenal pada tahun 1920 dengan bergerak secara agresif dan masif. Bahkan, Dr. Sutomo yang berkunjung ke Kairo tahun 1931 berkata bahwa pemuda Indonesia di Kairo terlalu panas sehingga sulit untuk didinginkan.

Tak hanya sampai disitu, pelajar Indonesia menolak untuk mengambil hak tunjangan mereka demi memurnikan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka lebih memilih lapar di negeri orang dengan terus mempromosikan Indonesia kepada masyarakat umum. 

Tidak saja melalui tulisan, mereka juga berani menyentuh elit-elit politik negeri dan menghadiri pertemuan Pan-Arabisme pada 6 September 1944.

(Foto: Setyo Adhi V.)
(Foto: Setyo Adhi V.)
K.H Agus Salim juga memberikan catatan hijrah politik Bangsa Indonesia. Beliau turut berjuang dalam berdiplomasi dengan negara lain untuk mengakui negara Indonesia. Dengan kelihaiannya dalam berbicara, Salim membantu pelajar Indonesia di Mesir agar dari pihak pemerintah mau mendukung Indonesia. 

Tanggal 10 Juni 1947 akhirnya kedua negara secara resmi bekerjasama sekaligus pertanda pengakuan de jure pertama bagi kemerdekaan Indonesia.

Sebagai diplomat yang sangat bersahaja bagi Indonesia, K. H Agus Salim mempunyai keteladanan dan keikhlasan dalam memperjuangkan nilai hijrah Bangsa Indonesia. Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Lingarjati membuat penilaian terhadap Salim. 

Willem mencatat diplomat Indonesia tersebut sebagai sosok negosiator yang tangguh, pandai bicara dan berdebat. 

Hanya satu kelemahannya, selama hidupnya miskin. K. H Agus Salim lebih memilih hidup sederhana dan meninggal juga dalam keadaan sederhana. Tidak menilai apa yang sudah ia lakukan harus dibayar dengan materi.

Kembali ke masa sekarang. Jika dilteliti lagi, fenomena hijrah bukan lagi bermakna perubahan mental dan karakter seperti pahlawan perjuangan Indonesia atau muslim di masa Soeharto. 

Bahkan untuk meneladani Rasulullah dalam hijrahnya seperti tak terlihat lagi. Hijrah yang dimaknai lebih kepada perubahan penampilan, namun minim nilai. Seseorang berfikir hijrah itu berkerudung besar, namun tak dibarengi dengan kebesaran hati. 

Gencar mengeluarkan sedekah, hanya saja tujuannya agar hidup kaya. Berdakwah ke sana-sini tapi tak mau membaca buku agama. Asal berbicara apa yang ia dapat dari media sosial.

Hijrah sudah menjadi gerakan yang disponsori industri. Bukan rahasia lagi kalau industri mengakomodasi apapun yang bisa diperjualbelikan, termasuk dalam hal ketaatan beragama. 

Industri ekonomi sangat lihai dalam melihat karakter hijrah Indonesia saat ini. Sehingga mereka mengkooptasi ketaatan beragama masyarakat untuk kepentingan komesial.

Segala produk kecantikan disangkutpautkan dengan agama. Agar masyarakat tertarik untuk membeli dan mereka akan merasa terabeli dengan hijrah. 

Rasa aman menyelimuti kaum muda karena sudah melakukan perubahan menjadi lebih baik, padahal sebenarnya bukan makna itu yang dimaksud. Berbagai kontes khusus untuk muslim dan perempuan berjibab juga menjadi ladang ekonomi yang menjanjikan.

ilustrasi aksi masa. (tempo.co)
ilustrasi aksi masa. (tempo.co)
Terutama anak muda yang masih mencari jati diri. Kemasan hijrah dari industri sangat menggiurkan untuk diikuti. Tanpa dibarengi dengan bentuk hijrah karakter dan intelektualitas. Hijrah bentuk mereka masih ditahap materiil. 

Kasarnya hijrahnya generasi mileneal saat ini merupakan gerakan golongan atas. Hanya mereka yang berada di  ekonomi kelas menengah di perkotaan dan aktif di sosial media tersentuh kampanye hijrah. Kembali lagi, karena hijrah milineal butuh biaya besar untuk merubah penampilan.

Keringnya refleksi karakter islami dalam hijrah melenial dapat terpantul dari kejadian lucu disekitar kita. Seperti seorang gadis muslimah, sudah dengan pakaian tertutup dan sopan, tapi masih menggunakan make-up dan sengaja pergi ke keramaian untuk menarik perhatian. 

Dirinya bercadar namun masih suka upload foto cantik ke media sosial. Memelihara jenggot tapi masa bodoh dengan urusan negara, masyarakat disekitarnya dan lingkungan. 

Ikut seminar dakwah di mana-mana, kurangnya tidak mau memperdalam ilmu lagi langsung belajar ke gurunya. Sehingga pemikirannya tetap dangkal dalam menghadapi perbedaan. Ikut berlomba-lomba menghafal Qur'an tapi tidak mau mengamalkan kandungan setiap ayatnya.

Kita sudah lupa, hijrah bukan hanya tentang perubahan penampilan yang lebih menutup, mengamalkan perbuatan baik dan mensyiarkan ajaran Islam. Lebih dari itu kita harus sadar untuk mengubah pandangan hidup kita dan memperkaya intelektualitas. 

Sebagai manusia modern, kita sudah terbiasa hidup dengan instan. Bahkan dalam masalah hijrah kita juga meng-instan-kannya. Kita tidak mau memproses dalam diri kita untuk dihijrahkan.

Mungkin coba kita tanyakan kepada mereka yang sedang asyik berhijrah. Maukah mereka berhijrah seperti yang dilakukan pelajar Indonesia di Mesir, K.H Agus Salim yang berhijrah dengan hidup sederhana atau pemuda pejuang Indonesia lainnya yang bersahaja. Rela meninggalkan kenikmatan dunia untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia. 

Mereka benar-benar memaknai kata hijrah tidak hanya sekedar berpindah menuju hal yang lebih baik. Tapi lebih sebagai konsenkuensi keimanan mereka sebagai muslim untuk memperjuangkan tanah wilayah dan hak saudaranya.

Para pejuang kemerdekaan Indonesialah yang seharusnya juga dikampanyekan dalam hijrah milenial. Dijadikan panutan pemuda Indonesia saat ini dalam berhijrah. Untuk tidak menutup mata pada buruknya politik dan perekonomian kita di dunia Internasional. 

Bukan lagi saatnya berhijrah untuk mencapai kepuasan individu, dunia sedang menunggu perubahan dari kita seperti pemuda Indonesia era kemerdekaan. 

Mereka tidak akan lihat bagaimana tampilan fisikmu, apa merk kerudungmu, apakah menggunakan shampo khusus wanita berhijab atau komestik dengan iklan khusus wanita hijab dan seberapa banyak postingan dakwah di media sosial yang sudah dibaca.

Keadaan kita memang tidak seburuk era penjajahan atau masa penolakan Suku Quraisy terhadap Rasululah. Justru kondisi kita lebih buruk dari itu. Dan kita tidak menyadarinya karena sudah terbuai dengan iklan industri tentang hijrah.

Bacaan:
Abdul Hair, Fenomena Hijrah di Kalangan Anak Muda, 30 Januari 2018.
Ariel Heryanto. (2015). Identitas dan Kenikmatan : Politik Budaya Layar Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra
Sofi Mubarok. (2019). Memilih Lapar : Diplomasi dan Islam Era Kemerdekaan. 15 Agustus, 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun