Tidak saja melalui tulisan, mereka juga berani menyentuh elit-elit politik negeri dan menghadiri pertemuan Pan-Arabisme pada 6 September 1944.
Tanggal 10 Juni 1947 akhirnya kedua negara secara resmi bekerjasama sekaligus pertanda pengakuan de jure pertama bagi kemerdekaan Indonesia.
Sebagai diplomat yang sangat bersahaja bagi Indonesia, K. H Agus Salim mempunyai keteladanan dan keikhlasan dalam memperjuangkan nilai hijrah Bangsa Indonesia. Willem Schermerhorn, ketua delegasi Belanda dalam perundingan Lingarjati membuat penilaian terhadap Salim.Â
Willem mencatat diplomat Indonesia tersebut sebagai sosok negosiator yang tangguh, pandai bicara dan berdebat.Â
Hanya satu kelemahannya, selama hidupnya miskin. K. H Agus Salim lebih memilih hidup sederhana dan meninggal juga dalam keadaan sederhana. Tidak menilai apa yang sudah ia lakukan harus dibayar dengan materi.
Kembali ke masa sekarang. Jika dilteliti lagi, fenomena hijrah bukan lagi bermakna perubahan mental dan karakter seperti pahlawan perjuangan Indonesia atau muslim di masa Soeharto.Â
Bahkan untuk meneladani Rasulullah dalam hijrahnya seperti tak terlihat lagi. Hijrah yang dimaknai lebih kepada perubahan penampilan, namun minim nilai. Seseorang berfikir hijrah itu berkerudung besar, namun tak dibarengi dengan kebesaran hati.Â
Gencar mengeluarkan sedekah, hanya saja tujuannya agar hidup kaya. Berdakwah ke sana-sini tapi tak mau membaca buku agama. Asal berbicara apa yang ia dapat dari media sosial.
Hijrah sudah menjadi gerakan yang disponsori industri. Bukan rahasia lagi kalau industri mengakomodasi apapun yang bisa diperjualbelikan, termasuk dalam hal ketaatan beragama.Â
Industri ekonomi sangat lihai dalam melihat karakter hijrah Indonesia saat ini. Sehingga mereka mengkooptasi ketaatan beragama masyarakat untuk kepentingan komesial.