Mohon tunggu...
Temy Larasati
Temy Larasati Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Wellcome My Blog - Masih tahap belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pertengkaran (Part 4 Novel "Kirana")

30 September 2017   21:28 Diperbarui: 30 September 2017   22:25 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari itu aku dan Ibu bertengkar lagi. Pertengkaran kali ini terjadi karena ibu melarangku untuk menemui Gendis.

Dengan raut muka marah dia berteriak, “Kerjaanmu hanya makan, tidur, dan bermain terus. Kapan kamu berubah?”

“Lebih baik diam kalau tak tahu apa-apa.” Aku membalas teriakannya.

“Diam? Bukannya kamu yang selama ini hanya diam di rumah dan tak melakukan apa-apa?”

“Memang aku diam! Bukan berarti aku tak memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan sebagai anak. Apa kaupikir aku tahan dengan ocehanmu? Aku tahu apa yang kaumaksud? Aku berusaha untuk melakukan yang terbaik untukmu.”

Ibu hanya terdiam setelah mendengar penjelasanku dan dia berjalan menuju ke kamarnya. Aku meninggalkan ibu dan kemudian lari meninggalkan rumah. Aku berlari dengan pikiran kacau dan menghiraukan semua yang ada di depanku. Aku tetap berlari menatap lurus ke depan dan hingga akhirnya aku sampai di sebuah taman. Tempat yang setiap saat aku datangi setelah bertengkar dengan ibu adalah taman ini. Aku mulai berjalan dengan perlahan setelah berlari cukup kencang dan lama. Aku menatap sebuah bangku kosong yang biasanya kududuki. Aku merebahkan badanku di atas bangku dengan mata tertuju pada birunya langit. Sesekali aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Memejamkan mata dan menikmati segarnya udara di taman ini.

Aroma bubble gum perlahan demi perlahan mulai memudarkan khayalanku. Aroma ini hanya anak itu yang memakainya. Dan jam-jam segini memang waktunya dia ada di taman ini. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki melangkah perlahan mendekatiku.

“Kak Rana!” teriaknya begitu keras hingga aku terjatuh dari bangku.

Aku sangat-sangat terkejut mendengar teriakan itu. Jantungku terasa hampir mau copot mendengar suara itu.

“Ah,... kamu ini menganggu ketenanganku, Dis.”

“Hahahaha...! Salah siapa tidur di taman, kalau mau tidur tu ya di rumahlah Kak Ran.”

“Iya iya, Dis.”

Aku hanya mengiyakan apa yang dia katakan. Aku kembali merebahkan badanku dan menutup mataku.

“Kak Ran kok malah tidur lagi sih? Ayo bangun, bangun, bangun Kak Rana.”

Suaranya membuatku lama kelamaan muak dengannya. Kecil-kecil suaranya kayak lonceng sate.

“Ah,... jangan ganggu aku dulu. Aku ingin istirahat.”

“Ayolah Kak Ran, ayo.., ayo...!”

“Sudah kubilang kan aku mau istirahat.”

Gendis mengulanginya lagi dan lagi hingga berkali-kali, “Ayolah Kak Ran.” sambil menarik tanganku.

“Hoiii... Lepaskan tanganmu!” Aku melepaskan pegangan tangannya dari tanganku dengan begitu kasar.Hal itu membuat Gendis terjatuh, “Bruggg...”

“Aku kan sudah bilang jangan mengangguku. Kenapa masih saja mengganguku?”

Gendis hanya terdiam dan dia memegangi kedua tangannya.Aku tampak terkejut melihat tangan Gendis yang dibalut perban. “Sejak kapan dia begini?” pertanyaan itu muncul dibenakku. Tanpa ku sadari dia meneteskan air matanya dan merintih kesakitan. Aku tak tau kenapa dia begitu. Dia semakin menangis menjadi-jadi dan mengatakan, “Kak Ran sakit, sakit!”

Dia mengatakannya berulang-ulang kali. Aku tak tau harus bagaimana menanganinya. Aku hanya menatapnya. Orang-orang lain yang berada di taman ini pun melihat ke arah Gendis yang merintih kesakitan dan melihat ke arahku dengan raut muka yang sangat sinis. Tanpa berfikir panjang aku membalikkan badanku dan berlari menjauhi Gendis.

««««

Aku sudah taktahan lagi dengan kehidupanku di sini. Setiap hari aku dan ibu bertengkar karna hal-hal kecil yang sebenarnya tak perlu dipermasalahkan.Aku berjalan menuju ke kamarku dan aku mulai mengemasi pakaian-pakaianku. Dengan tas ransel berukuran sedang aku pun pergi meninggalkan rumah itu tanpa sepengetahuan ibu.

Aku memutuskan untuk pergi ke rumah kakek. Walaupun jarak rumahku dan rumah kakek begitu jauh aku tetap nekat pergi dari rumah. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama akhirnya aku sampai di rumah kakek.

“Assalam’mualaikum, kakek?” sambil mengetuk pintu.

“Walaikum’salam.” sahut kakek sambil membuka pintu rumahnya. Kakek tampak terkejut melihatku.

Kirana kenapa ke sini? Mana ibumu?”

“Emmm... Kirana boleh masuk enggak, kek?” aku mengalihkan pertanyaan kakek.

“Iya boleh sini masuk, Ran.”

Setelah diperbolehkan kakek masuk aku langsung pergi menuju kamar yang biasanya aku gunakan ketika aku berlibur ke rumah kakek. Aku menghempaskan badanku di kasur kamar itu dan menghirup udara khas pegunungan yang membuatku tenang. Lama-kelamaan mataku mulai terpejam dan aku hanyut dalam mimpi.

“Tok... tok... tok...! Rana bangun, ayo makan.”

Suara kakek membangunkanku dan aku berjalan menuju wastafel utuk mencuci mukaku. Di meja makan terhidang beberapa makanan (sop ayam, ayam goreng, tempe goreng, nasi, sambal dan teh hangat). Itu semua masakan kakek sendiri. Sudah 2 tahun ini kakek hidup sendiri di rumah yang sederhana ini. 2 tahun lalu nenek divonis menderita stroek yang menyebabkan seluruh tubuh nenek lumpuh. Kurang lebih 2 bulan nenek dirawat di sebuah rumah sakit yang membuat kondisinya semakin membaik. Tapi 1 minggu kemudian kondisi nenek memburuk hingga membuatnya pergi meninggalkan kami semua. Kakek sangat terpukul atas kepergian nenek yang begitu cepat meninggalkannya. Perlahan-lahan kakek mulai bangkit walaupun sesekali dia mengingat semua kenangannya bersama nenek.

Disela-sela kami berdua sedang makan kakek bertanya kepadaku, “Masakan kakek masih enakkan, Ran?”

“Masakan kakek selalu enak kok. Makanya Kirana ke sini soalnya Kirana kangen masakan kakek.”

“Alhamdulillah kalau masih enak. Bener kamu kangen masakan kakek dan hal itu yang membuatmu datang ke sini?”

Aku menghiraukan apa yang kakek tanyakan dan kembali mengunyah makananku. Kakek melihatku dan dia tersenyum. Selesai makan aku berjalan menuju teras rumah dan duduk-duduk santai sambil menikmati segarnya udara pegunungan.

“Enakkan udara di sini, Ran?”

“Hehehe.... iyalah, kek namanya juga pegunungan.”

“Nih, sambil liat pemandangan makan timus.”

“Wahhhh...!Kakek perhatian banget. Kirana tambah sayang malah semakin sayang sama kakek.”

“Kerjaanmu cuma bisa ngegombalin kakek dasar Kirana cewek genit”

Kami berdua tertawa bersamaan dan hanyut dalam pembicaraan. Aku bahagia sekali melihat kakek bisa tertawa seperti ini dan aku bahagia punya keluarga ini. Walaupun ibu memperlakukanku seperti itu.

“Ran, kakek boleh tanya sesuatu ke kamu?”

“Iya, boleh kok kek. Rana akan menjawabnya.”

“Kenapa kamu ke sini? Apa kamu bertengkar dengan ibumu?”

“Yah,...kakek pasti mengertikan dan paham betul bagaimana keadaan Rana dengan ibu.”

“Kenapa Ran?” Berulang kali kakek menanyakan pertanyaan sama dan itu membuat aku jengkel. Perlahan-lahan aku mulai menceritakannya kepada kakek.

“Rana diam bukan berarti tak memikirkan apapun. Tapi Rana berusaha untuk melakukan sesuatu untuk ibu dan itupun Rana lakukan tanpa sepengetahuan ibu. Tapi kenapa ibu selalu bersikap seperti itu pada Rana? Apa salah Rana kek?”

“Coba sekarang Rana ingat-ingat lagi apa yang selama ini Rana lakukan untuk ibu?”

Aku pun terdiam dan mulai mengingat-ingat apa yang selama ini aku lakukan untuk ibu. Tanpa aku sadari tanganku mulai gemetar, dadaku sesak, air mataku mulai menyeruak keluar. Benar apa yang kakek katakan, seharusnya aku mengintropeksi diri terlebih dahulu. Perlahan-lahan air mataku mulai menetes dan aku melepaskan semua tangisanku. Pelukan hangat dan tepukkan punggung yang kakek berikan membuatku semakin menangis menjadi-jadi. Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Beruang kali aku mengatakan, “Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku kek.”

“Seharusnya itu kamu katakan kepada ibumu, Ran. Bukan kepada kakek.”

“Maafkan aku, maaf, maaf, ....”

“Ran ingat penyesalan itu pasti datang diakhir dan ingatlah juga tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf. Cepatlah pulang dan kembali kepada ibumu. Mintalah maaf dan bicaralah dengan jujur apa yang selama ini kamu pendam.”

Aku hanya terdiam mendengar kata-kata kakek. Kumandang azan maghrib pun terdengar. Kakek mengajakku pergi ke masjid bersama. Setelah sholat maghrib bersama kami makan malam bersama di rumah. Sore pun berganti malam, aku merasakan hari ini begitu panjang dan lama. Aroma lavender menyeruak di kamarku dan membuatku hanyut dalam tidur.

««««

Keesokan paginya setelah sholat subuh aku berjalan-jalan menuju ke sebuah tempat dimana tempat itu biasanya aku kunjungi ketika berlibur ke rumah kakek. Jam-jam segini adalah waktu yang tepat untuk menantikan munculnya sunrise. Detik demi detik berkas-berkas cahaya matahari mulai nampak dan menyilaukan pandanganku. Entah kenapa air mataku menetes kembali.

“Rana ayo pulang!” suara kakek membuyarkan lamunanku.

“Iya, kek bentar lagi.” sambil menghapus air mataku.

Aku dan kakek pulang bersama. Di sepanjang jalan sambil menikmati segarnya udara pegunungan di pagi hari kakek menceritakan masa-masa kecilku. Tiba-tiba kakek mengusap-usap rambutku dan berkata,

“Ran, cepatlah kembali kepada ibumu. Ibumu pasti mengkhawatirkanmu dan jujurlah kepada ibumu apa yang selama ini kamu rasakan. Janganlah memendamnya lagi. Apa dengan caramu diam bisa menyelesaikan masalah?”

“Tapi aku ingin disini beberapa hari lagi, kek untuk menenangkan pikiranku. Aku belum siap untuk bertemu dengan ibu. Boleh kan kek?” Pintaku seraya memegang tangan kakek.

“Ya baiklah. Jika itu yang kamu inginkan kakek tidak akan melarangnya.”

Aku dan kakek melanjutkan perjalanan kami sambil bersenandung ria. Bahagia itu ketika bersama seseorang yang berada didekatmu yang mengerti bagaimana persaanmu dan keadaanmu saat ini.

««««

Selama berada di rumah kakek, aku tak menghidupkan smartphoneku. Kakek menyuruhku untuk menghubungi ibu dan memberitahunya bahwa aku ada di rumah kakek sekarang. Tapi aku mengurungkan hal itu. Aku takut ibu akan datang ke sini dan menyuruhku pulang.

Setiap aku memejamkan mataku, aku selalu mengingat kejadian di taman itu. Sampai saat ini pun aku juga tak menghubungi Gendis. Aku sangat merasa bersalah karena telah meninggalkan Gendis begitu saja. Sebelum aku melarikan diri dari rumah pernah terbesit dalam pikiranku untuk pergi ke rumah Gendis. Aku ingin mengetahui keadaannya dan meminta maaf. Tapi hal itu tak ku lakukan. Aku merasa bahwa semua itu bukan salahku. Aku tidak melakukan apa-apa kepadanya. Dia terjatuh saat aku mencoba melepaskan genggaman tangannya.

“Kenapa waktu itu tangannya diperban?”, “Kenapa dia menangis?”, “Apa itu salahku?”, “Apa dia merasa kesakitan?”, “Bagaimana keadaannya sekarang?” tidak hanya satu pertanyaan yang muncul dibenakku bahkan ratusan pertanyaan muncul. Sampai saat ini pun tidak ada yang bisa memecahkan atau menjawab semua pertanyaanku. Karna aku terlalu egois dan gengsi untuk menanyakan hal itu padanya.

“Ran apa kamu sudah menghubungi ibumu?”

“Belum kek.”

“Kenapa? Ini sudah 3 hari kamu pergi dari rumah.”

“Iya, iya kek. Aku akan menghubungi ibu.”

Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi ibu. Awalnya aku merasa takut untuk menghubungi ibu. Ketika aku berbicara kepadanya nada suaranya berubah tak seperti biasanya. Dia memintaku untuk kembali ke rumah dan akupun mengiyakannya. Setelah selesai menelpon ibu, kakek membantuku mengemasi barang-barangku. Aku berpamitan kepada kakek,

“Kek, Rana pulang dulu ya. Jaga kesehatan ya, kek.”

“Iya Ranaku sayang. Hati-hati di jalan dan samapaikan salam kakek kepada ibumu. Ingat semua nasihat kakek ya.”

“Siap kek. Assalam’mualaikum, kek.” sambil melambaikan tanganku dan taksiku pun mulai berjalan.

“Walaikum’salam, Rana.” Kakek membalas salamku dan dia melambaikan tangannya juga.

Diperjalanan aku menatap berulang kali layar smartphoneku. Tak ada satupun pesan dari Gendis. Aku benar-benar gengsi untuk menanyakan kabarnya. Kurang lebih 30 menit akhirnya aku sampai di stasiun kereta. Jam tanganku menunjukkan pukul 07.45 sedangkan keretaku akan tiba sekitar pukul 08.15 masih ada waktu 30 menit lagi. Aku berjalan menyusuri koridor stasiun berharap aku bisa mendapatakan sesuatu untuk ku berikan kepada ibu. Aku terhenti di sebuah kios bunga. Aroma bunga yang begitu menyeruak membuatku menjadi senang. Aku memutuskan untuk membeli satu buket bunga lavender dengan pita putih yang menghiasinya.

“Perhatian kereta A20 akan segera tiba di stasiun. Silahkan berdiri di depan garis kuning. Trimakasih.” Mendengar pengumuman itu aku mempercepat langkahku menuju kereta. “Semoga ibu menyukai bunga ini” bisikku dalam hati. Perjalanan kali ini akan menempuh waktu yang cukup lama.

««««

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, aku harus mencari taksi untuk mengantarku ke rumah. Tapi tiba-tiba ‘kruggg...’ perutku berbunyi. Aku mengelus-elus perutku yang sudah terlihat jelas meraung-raung meminta makan. Aku berjalan keluar dari stasiun dan mulai mencari tempat makan untuk perutku ini.

“Kira-kira mau makan apa ya? Soto, bakso, mie ayam, sate?”

“Soto aja deh biar seger.”

“Bu pesen sotonya 1 plus nasi sama minumnya es jeruk.”

“Oke, mbak. Ditunggu sebentar ya. Silahkan cari tepat duduk.”

“Iya ibu.”

Aku makan dengan begitu lahapnya. Sampai-sampai tambah 4 gorengan. “Emang ini perut kalau masalah makanan enggak bisa ditahan.” Sambil mengelus-elus perutku yang kekenyangan. Sekitar pukul 13.15 aku perjalanan menuju ke rumah. Sesampainya di rumah,

“Tok... tok... tok...! Assalam’mualaikum.”

“Walaikum’salam.” Sahut ibu sambil membuka pintu. Ibu nampak terkejut dan bahagia melihat kedatanganku. Ibu langsung memulukku dan dia meneteskan air matanya.

“Maafkan ibu, Ran.”

“Iya ibu. Ayo kita masuk ke dalam” sambil mengandeng tangan ibu aku menuntunnya masuk ke dalam rumah.

“Ran maafkan ibu. Selama ini ibu selalu memarahimu.”

“Bukan ibu yang salah tapi Rana yang salah. Selama ini Rana enggak pernah jujur ataupun cerita sama ibu apa yang Rana rasakan dan lakukan.”

“Iya, Ran. Mulai saat ini kamu harus belajar jujur dan menceritakan apa pun yang kamu rasakan entah iu suka ataupun duka. Lebih baik kita melupakan yang lalu. Yang lalu biarlah berlalu. Mari kita memperbaiki semua ini.”

“Sekali lagi maafkan Rana. Rana malah ninggalin ibu sendiri di rumah.”

“Iya iya, Ran.” Kamipun berpelukan bersama

“Ooo iya. Rana mau kasih sesuatu buat ibu. Ini dia.” Sambil menunjukkan sebuket bunga lavender.

“Trimakasih Rana. Ibu suka sekali sama bunga ini.” ibu membalasnya dengan pelukan hangat dan ciuman manis di keningku.

««««

Suara kicauan burung dan berkas-berkas cahaya matahari membangunkanku. Aroma lavender selalumenyeruka di kamarku. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci mukaku. Aroma nasi goreng mulai tercium oleh hidungku. Aku bejalan mengikuti aroma nasi goreng hingga akhirnya aku sampai di dapur. Aku melihat ibu sedang memasak nasi goreng pagi ini. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum dan mengatakan,

“Pagi Ranaku sayang.”

“Pagi juga ibuku cintaku.” aku membalas sapaannya.

Kami berdua pun makan bersama dan hanyut dalam pembicaraan. Kali ini raut muka ibu begitu berbeda dari waktu itu. Kebahagian dan senyumanya terpancar di raut mukanya. Saat-saat seperti inilah yang aku harapkan selama ini. Aku berharap semoga takkan ada lagi raut muka kemarahan, keegoisan, dan kekecewaan. Setelah selesai makan aku bersantai di ruang keluarga sambil menonton tv.

“Ran...” ibu memanggilku

“Iya. Ada apa ibu ?”

“Kamu enggak ke taman atau ke rumah Gendis?”

“Emm...enggak. Rana ingin di rumah saja.”

“Beberapa hari yang lalu waktu kamu pergi dari rumah. Ibunya Gendis ke sini, dia mencarimu. Sepertinya ada yang ingin dia sampaikan.”

Aku hanya terdiam dan menghiraukan ucapan ibu. Ibu memperhatikanku dengan raut muak bingung.

“Sebaiknya kamu pergi ke rumah Gendis, Ran. Ibu tak akan melarangmu.”

“Kalau begitu Rana pamit pergi ke rumah Gendis dulu ya.”

“Iya. Hati-hati ya, Ran. Ibu titip salam buat Gendis dan Ibunya.”

“Oke. Assalam’mualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

««««


temy, 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun