Mohon tunggu...
Gina Hendro
Gina Hendro Mohon Tunggu... -

ceria, religius, sok serius tapi setia kawan dan sayang keluarga tentunya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Shinkansen & Anak Tukang Sampah

7 November 2013   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:28 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Depok, medio Juli 2004

Tatapanku nanar, memandang  punggung seorang lelaki renta yang tengah menarik gerobak sampah tua dan reyot. Alunan bunyi berdecit, mengiringi putaran roda, yang seolah akan lepas dari asnya.

Terngiang kembali kata-katanya, menghantam relung hatiku terdalam

Kamu harus terus sekolah, Nak! Jangan seperti ayah, yang SD-pun tak tamat! Ayah tak mau, nasibmu akan berakhir sebagai seorang tukang sampah, seperti ayahmu ini!”, lirih suara ayah, menyampaikan keinginannya terhadapku, si putra sulungnya.

Ya, aku, Kanta, remaja ingusan yang terlahir dari rahimseorang buruh cuci dan berayahkan tukang sampah. Bertahun aku tak pernah mempermasalahkan  status sosialku. Namun kini, kala kakiku harus menginjak bangku SMA, biaya sekolah yang tak murah memaksaku berfikir beribu kali untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi.

Kukatakan pada ayah, untuk membantunya saja mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah, seraya memulung barang-barang yang masih dapat dijual, seperti yang selama ini telah kulakukan.

Namun, rupanya ayah punya pemikiran lain. Ia tak ingin masa depan anaknya sesuram dirinya. Ia yakin anaknya kan mampu mengecap pendidikan jauh lebih tinggi, betapapun biaya yang dibutuhkan, akan diusahakan. Itu janjinya!

Alhamdulillah, Nak. Pak Lurah bersedia menjadi orangtua angkatmu. Beliau telah mendengar soal nilai ujianmu yang tertinggi di SMP kampung kita ini. Kemarin pak Lurah menyampaikan ke ayah, bahwa beliau akan membiayai sekolahmu di SMA hingga lulus kelak.”, kembali kata-kata ayah terngiang di telingaku.

-------------------------------

Depok, Awal januari 2008

Hujan deras kembali mengguyur pertiwi. Bau tanah yang khas, meruak bercampur dengan bau tumpukan barang bekas yang menggunung di belakang rumah kami. Bagi orang lain tumpukan itu lebih layak disebut sebagai sampah alias barang loak. Namun bagi kami, ini adalah harta tak ternilai yang kami miliki. Harta yang kami kumpulkan dari berbagai penjuru kampung, seraya mengumpulkan sampah untuk dibuang ke TPS di ujung jalan raya.

Bergetar tanganku kala membaca sepucuk surat panggilan untuk mengikuti program beasiswa ke jepang.

Jepang! Yaa..cita-citaku sejak kecil, saat aku baru melek huruf dan mampu membaca nama sebuah negara yang terpampang di sobekan surat kabar terbitan ibukota , dua belas tahun yang lalu. Sejak saat itu, bulat tertanam di benakku untuk ke sana, suatu ketika kelak. Namun aku sadar, aku bagaikan punuk merindukan bulan.  Ayahku hanyalah seorang tukang sampah, mana mungkin mampu membiayai anak sulungnya bersekolah di negeri termahal di dunia itu. Belum lagi lima orang adik-adikku yang masih kecil-kecil, membutuhkan biaya pendidikan yang tak sedikit.

Beruntunglah kami. Berkat kejujuran dan kerajinan ayah mengambil sampah dari rumah ke rumah, ayah sering  mendapat bonus, baik berupa uang, pakaian bekas maupun makanan dari para tetangga yang merasa tertolong. Seringkali pula, ayah diminta tolong untuk membersihkan kebun, atau sekedar memotong tanaman dan mendapatkan tambahan uang dari sana.

Mataku kembali memandang tak percaya ke secarik kertas yang bertuliskan namaku itu. Berulang kali kubaca. Benar! Kananta Sasmita, itulah nama lengkapku. Terpilih sebagai satu dari delapan siswa yang beruntung lolos mendapatkan beasiswa full, dari pemerintah jepang, melalui program Monbukagasuko/MEXT. Aku berhasil mengalahkan 5473 siswa dari seluruh penjuru tanah air, yang semua merasa berhak untuk mendapatkan beasiswa bergengsi itu.

Aku bukanlah siswa yang pintar, namun aku mempunyai keinginan kuat untuk menggapai cita-citaku. Sekeras keinginan ayahku, untuk menyekolahkanku setinggi mungkin. Setiap hari, selama belasan tahun, terbayang kuil-kuil indah di kota Kyoto, megahnya bangunan pencakar langit di kota Tokyo dan kerennya kereta shinkansen membelah jantung kota Osaka.

Beberapa tahun terakhir, shinkansen telah merasuki seluruh pikiranku. Aku harus ke Jepang! Aku harus belajar tentang perkeretaapian di sana! Batinku selalu.  Foto aneka seri shinkansen menghiasi seluruh penjuru rumah kami yang mungil. Semua keluarga sudah tahu, bagaimana aku tergila-gila pada benda yang satu ini.

Setiap saat pembicaraanku hanya soal shinkansen. Setiap gemuruh KRL jabodetabek melintas di depan rumah kami, selalu terbayang shinkansen yang melintas di hadapanku. Pokoknya, 24 jam aku hidup di bawah bayang-bayang shinkansen.

Aku sangat hafal, jenis-jenis lokomotif dan gerbong KRL yang beroperasi di seputaran jabodetabek. Cukup dengan melihat bentuk cantiknya saja. Aku sudah langsung bisa memastikan seri dan tahun pembuatannya, berikut tahun masuknya ke Indonesia. Sebuah pengetahuan yang sebenarnya sangat lumrah di kalangan pecinta KRL alias KRL Mania. Namun bagiku, dapat melihat  dan bersentuhan langsung, apalagi menaiki shinkansen, adalah sebuah cita-cita terpendam, namun ternyata mampu menyulut tekadku untuk meraihnya.

Tak terkira sukacita dan bersyukurnya ayah dan ibuku, saat kusampaikan kabar gembira ini pada mereka berdua. Senyum bahagia tak lepas menghiasi wajah mereka, hingga akhirnya berubah menjadi tangis keharuan saat melepas sulungnya melanglang buana ke negeri seberang.

-------------------------------

Tokyo, akhir Oktober 2008

Aku, Kanta, anak seorang tukang sampah, akhirnya berhasil menginjakkan kaki di ibukota sebuah negara termodern di dunia, saat ini.

Mataku nanar, menatap tak percaya, sesosok makhluk cantik yang  selama ini menghiasi mimpi-mimpiku. “Nazomi”, salah satu shinkansen  idolaku, terpampang dengan indahnya di hadapanku. Di sebelahnya  JR Maglev MLX01, berdiri gagah, seolah menantangku tuk segera menakhlukannya.

Kali ini aku menjajal jalur Tokaido shinkansen. Tak sabar, kulangkahkan kakiku memasuki gerbong paling depan dari si nazomi seri 0~N70. Benar saja, jarak perjalanan dari Tokyo ke Shin-Osaka sejauh 515,4 km, hanya ditempuh dalam waktu 2 jam 25 menit. Benar-benar se buah pengalaman menggetarkan yang baru pertama kali kualami.

Malamnya, kutelpon ayah dan ibu, untuk menyampaikan kabar gembira tentang petualangan indahku tadi siang, bersama shinkansen tersayang.

-------------------------------

Nagoya, Medio Agustus 2013

Tak terasa, lima tahun telah berlalu, semenjak kakiku menjejakkan langkahnya di bumi para samurai ini. Berbagai pengalaman hidup dan ilmu  telah kuperoleh  selama masa perkuliahanku di Nagoya University.  Automotive Engineering Program, sebuah program bergengsi, yang kuambil.

Susah payah aku berjibaku, menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan yang serasa tak pernah berakhir. Bahasa, tetap menjadi kendala utamaku. Hingga akhirnya, pengumuman kelulusanpun tibalah. Alhamdulillah, tak sia-sia  pengorbanan & perjuanganku siang malam, diiringi deraian airmata yang terkadang tak tertahankan, dikala kerinduan datang menyerang, ataupun pada saat kesulitan menghadang di masa perkuliahan, terbayarlah sudah.

Do’a kedua orangtuaku nun jauh di sana, senantiasa menemani harihari tersulitku. Merekalah yang selalu menyulutkan semangatku untuk bangkit, di saat keputusasaan kerap melanda diri, yang ternyata serapuh kertas koran yang dulu kukumpulkan demi kutukarkan dengan sebatang pensil kayu coklat, seharga seribuan.

-------------------------------

Depok, Awal November 2013

Kini, saatnya aku untuk kembali ke tanah pertiwi.Bagaikan pejuang nan gagah berani yang telah berhasil menakhlukkan kawah candradimuka, kedatanganku disambut dan dielu-elukan oleh warga sekampung. Aku bagaikan pahlawan pendidikan, di mata mereka. Ya, siapa yang bakal menyangka, anak seorang buruh cuci dan tukang sampah, berhasil mengenyam pendidikan tinggi di negeri orang, Jepang pula. Sebuah nama negara yang tak asing, sebab mayoritas mobil yang berseliweran di jalan raya, bertuliskan Toyota, Honda, Daihastu, Suzuki, Mitsubisi, yang kesemuanya ternyata “made in jepang”.

Karierku kumulai di sini, di sebuah perusahaan otomotive  dalam negeri, yang sedang berkembang pesat di tanah air. Biarlah kusimpan rapat rapat kembali, keinginanku untuk menikmati kecanggihan KRL di tanah air. Namun kuyakin, sepuluh-duapuluh tahun ke mendatang, cepat ataupun lambat, tekhnologi shinkansen akan mampu diadaptasi di negeriku tercinta ini.... aamin...

-------------------------------

BojSar, 5’11’13 (03.03)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun