Mohon tunggu...
Teguh WMulya
Teguh WMulya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Negara Menginvasi Kamar Tidur, Kriminalisasi Seks, dan Pengkhianatan Demokrasi

26 Maret 2018   09:02 Diperbarui: 27 Maret 2018   16:28 2545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir 2017, berita DPR merevisi KUHP mulai berdengung. Salah satu revisinya adalah pasal perzinahan yang hendak mengkriminalisasi segala bentuk seks di luar pernikahan yang sah, termasuk seks konsensual antara dua orang dewasa (pasal 484). Tulisan singkat ini memaparkan keberatan terharap revisi ini dari perspektif psikologis, budaya, agama, kesehatan masyarakat, dan politik/demokrasi.

Argumen utama saya adalah revisi pasal perzinahan ini tidak demokratik, tidak relevan dengan budaya Indonesia, menindas kebebasan beragama, memaksakan moralitas sempit, menciderai upaya-upaya meningkatkan kesehatan reproduksi, dan menempatkan kelompok rentan (termasuk perempuan dan anak-anak) dalam posisi yang lebih rentan lagi. Tulisan ini diakhiri dengan sebuah kecurigaan bahwa revisi ini didasari kepentingan politik konservatif, bukan kajian ilmiah berbasiskan data demi kebaikan seluruh rakyat Indonesia.

Urat nadi masyarakat demokratik adalah jaminan kebebasan individual. Tanpanya, demokrasi hanyalah kedok tirani minoritas atau dominasi mayoritas. Hukum di negara demokrasi seyogianya melindungi kebebasan individu seluas-luasnya, selama tidak merampas kebebasan dan hak dasar orang lain. Dalam diskursus seputar pasal perzinahan ini, hukum disalahartikan sebagai moralitas. Moralitas dapat menjadi sumber bagi hukum, namun moralitas bukan hukum.

Moralitas yang dijunjung setiap kelompok masyarakat dapat berbeda-beda, tugas hukum adalah memastikan keragaman moralitas tersebut dapat hidup bersama dalam damai. Mengonsumsi daging ternak tertentu bisa saja imoral atau dosa bagi suatu kelompok agama, namun hukum harus menjamin kelompok lain yang tidak meyakini aturan moral tersebut tetap memiliki kebebasan mengonsumsinya. Sama halnya dengan seks.

Seks konsensual antardua orang dewasa bisa jadi imoral bagi kelompok agama tertentu, namun hukum di negara demokrasi harus melindungi orang-orang yang tidak meyakini moralitas itu selama tidak merampas hak dasar orang lain; yaitu menggunakan paksaan, ancaman, atau intimidasi untuk melakukan seks. Singkatnya, kekerasan seksual lah yang bersifat kriminal, bukan seks itu sendiri. Jika disahkan, pasal perzinahan ini secara mendasar mengkhianati demokrasi. Pasal perzinahan ini lebih cocok di era drakonian --ketika negara secara berlebihan mengontrol kehidupan privat rakyat yang tidak merugikan siapa-siapa.

Telah banyak kajian ilmiah yang membuktikan bahwa pendekatan seks-hanya-dalam-pernikahan (abstinence-only-until-marriage) seperti dalam pasal perzinahan ini gagal mendidik remaja menjauhi seks.

Studi-studi kesehatan reproduksi (kespro) di negara-negara maju maupun berkembang menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak menurunkan angka seks di luar nikah. Pendekatan ini umumnya menolak pendidikan seks komprehensif yang membahas KTD, IMS, dan kontrasepsi.

Akibatnya, angka seks berisiko, kehamilan tidak diinginkan (KTD), dan infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS malah meningkat. Komnas Penanggulangan AIDS misalnya, telah lama menolak pendekatan moralistik seperti ini karena tidak efektif. Sayangnya, poin revisi KUHP yang lain (pasal 481) malah mengkriminalisasi pendidik kespro (selain petugas resmi pemerintah) yang mengajarkan kontrasepsi, padahal para pegiat kespro kebanyakan bukanlah pegawai negeri.

Pendekatan seks-hanya-dalam-pernikahan juga terbukti meningkatkan pernikahan di bawah umur, karena remaja yang kedapatan berhubungan seks dipaksa menikah demi nama baik keluarga. Pernikahan dini tanpa persiapan matang sering berujung pada putus sekolah, kemiskinan, kehamilan tidak diinginkan, masalah psikologis, dan KDRT terhadap perempuan dan anak. Pasal perzinahan tidak hanya menciderai upaya-upaya kespro selama ini, bahkan malah menambahkan masalah baru, yaitu pemidanaan/pemenjaraan pada masyarakat yang kespro nya sudah buruk ini.

Sering disebut-sebut bahwa seks di luar nikah bertentangan dengan "budaya Indonesia," sehingga mengkriminalkannya adalah solusi memelihara nilai-nilai budaya kita. Klaim ini secara mendasar bersifat simplistik, naif, dan buta sejarah. Pakar-pakar studi budaya telah menunjukkan bahwa tidak ada budaya yang otentik/asli. Semua budaya adalah percampuran berbagai akar tradisi historis dan nenek moyang. Budaya bersifat dinamis, selalu berubah, dan terjalin dalam relasi berbagai diskursus sosial-politik. Masalahnya adalah: Begitu banyaknya ragam budaya di Indonesia, yang manakah "budaya Indonesia" itu? Dan siapa yang berhak memutuskan mana "budaya Indonesia" yang asli?

Terdapat bukti-bukti sejarah bahwa manusia dalam gelombang migrasi pertama ke Indonesia tidak memiliki konsep pernikahan. Lelaki-lelaki secara berkala turun dari gunung/hutan ke pemukiman untuk bersenggama dengan perempuan-perempuan. Seks dalam pernikahan bukanlah budaya mereka, karena memang pernikahan tidak eksis di zaman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun