Pada hari jum'at, 27 Oktober 2017 lalu, pemprov DKI Jakarta Resmi meenerbitkan surat untuk tidak memperpanjang izin usaha dari Alexis Hotel. Hal ini dilakukan karena banyaknya laporan dan keluhan dari para warga mengenai adanya tindakan-tindakan prostitusi yang dilakukan didalam hotel tersebut.Â
Gubernur DKI Jakarta yang beberapa waktu lalu baru saja dilantik, Bapak Anis Baswedan menuturkan bahwa dengan penutupan hotel ini menjadi awal yang baru dimana Jakarta tidak menjadi kota yang membiarkan praktik-praktik prostitusi dan begitu banyak keluhan dari warga dan pemberitaan-pemberitaan yang ada. Disisi lain, penutupan ini menjadi bukti realisasi dari janji yang disampaikan oleh Gubernur ketika masa-masa kampanye lalu.Â
Pada tahun 2016 lalu ketika Gubernur DKI Jakarta masih dipimpin oleh Pak Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok, sebagaimana yang dikutip oleh kompas.com menuturkan bahwa di Alexis, surga bukan ditelapak kaki ibu, akan tetapi di lantai 7.
Disisi lain, para pekerja (terapis) yang ada di hotel tersebut sebagian besar berasal dari mancanegara yang diantaranya ada Vietnam, Thailand, Uzbekistan, Rusia, hingga China.Â
Menanggapi adanya penutupan ini, PT Grand Ancol sebagai pengelola hotel Alexis mencoba untuk melakukan permohonan tanda daftar usaha pariwisata namun tidak dapat diproses karena adanya penerbitan dari surat yang dikeluarkan oleh pemprov DKI Jakarta.
Dengan resminya ditutup hotel ini, maka segala operasional setelahnya akan dianggap sebagai kegiatan yang ilegal dan ini akan menjadi ancaman tindak pidana jika pihak hotel tetap melakukan kegiatan operasionalnya.
Meskipun kebijakan yang dikeluarkan oleh pemprov DKI Jakarta mendapatkan respon yang beragam terutama mengenai nasib dari para pekerja di hotel tersebut, namun banyak pihak yang memuji komitmen dari Anis Baswedan untuk tetap menutup Hotel tersebut, salah satu pihak yang mendukung kebijakan ini adalah Majelis Ulama Indonesia.
Lantas bagaimana nasib dari para pekerja Alexis Hotel?
Mungkin sebagian besar masyarakat akan berpikir bahwa para pekerja di Alexis hotel akan menjadi pengangguran baru dan menambah jumlah pengangguran yang ada, terlebih lagi lokasi hotel yang berada di jakarta semakin menambah jumlah pengangguran di ibu kota, akibatnya akan berimbas pada meningkatnya pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Pemporv DKI.
Jika dengan alasan pengangguran menjadi tameng besi untuk tidak menutup hotel ini, maka tentu dikhawatirkan akan semakin banyak masyarakat yang akan terkena imbas, terutama bagi generasi-generasi penerus bangsa.
Namun, dari sudut pandang penulis, menilai bahwa pandangan seperti itu dapat dirubah dengan perspektif yang lebih produktif dimana mantan pekerja alexis hotel dialihkan pada pekerjaan yang lebih layak dan terhindar dari pekerjaan yang menjadi penyakit masyakarat.