Mohon tunggu...
teguh imam suryadi
teguh imam suryadi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penikmat kopi gilingan sampai sachetan

Penikmat kopi gilingan sampai sachetan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

FFI 2016, Potret Kegagalan Badan Perfilman Indonesia

11 November 2016   17:26 Diperbarui: 11 November 2016   17:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

KENDURI orang film di ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2016 rampung tanpa gaung. Namun, ada jejak foto dan komentar di media sosial diunggah sejumlah artis merangkap panitia, juri, dan undangan Malam Anugerah Piala Citra.

Tak hanya melampiaskan rasa bahagia dengan berfoto selfie dan wefie, orang-orang film juga curhat tapping delay dan pemotongan tayangan “Malam Puncak FFI” yang disiarkan RCTI, Minggu (6/11/2016) malam, saat acara berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Lebarannya orang film ini sejatinya proyek pemerintah yang diamanatkan Undang Undang Perfilman No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Tahun ini adalah tahun ketiga FFI ditangani oleh Badan Perfilman Indonesia (BPI).

Pembentukan BPI difasilitasi dan disahkan oleh pemerintah pada penghujung tahun 2013. Sedikitnya ada 40 lembaga/ asosiasi bergabung di BPI sebagai stakeholder perfilman. Sayangnya, lebih dari separo asosiasi yang tergabung di BPI tidak berbadan hukum. Kecelakaan sejarah organisasi film ini sangat lucu dan aneh. Kapan-kapan saya akan tulis juga.

Celoteh soal Malam Puncak FFI 2016 di media sosial bertanda pagar #FFI2016 tidak menyentuh apa yang diamanatkan oleh UU, bahwa FFI adalah milik masyarakat yang harus dirasakan/diketahui manfaatnya oleh masyarakat luas. Yang terjadi hari ini, FFI hanya milik elit di perfilman seperti yang juga dirasakan oleh sebagian besar anggota BPI.

Perkubuan di BPI atau soal kinerja pengurus yang tidak memberi laporan kerja kepada anggota merupakan urusan internal BPI yang terikat aturan AD/ART. Namun, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan mengapresiasi FFI itu harus diselesaikan secara transparan.

Hak masyarakat terhadap pelaksanaan FFI adalah mutlak, karena kegiatan ini dibiayai pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN. Ada uang rakyat di sana.

BPI yang di awal pembentukannya sangat diharapkan menjadi mercusuar dan lumbung pemikiran perfilman seharusnya lebih maju mengurus FFI. Kemajuan itu, tentu bukan sekadar menambah jumlah juri dari 50 menjadi 150 orang. Alih-alih mengekor Piala Oscar, FFI justru tidak mandiri dalam pengelolaan keuangan.

Biaya FFI

FFI laksana benang kusut yang sejak 2004 tidak akuntabel dan transparan dalam anggaran dan kerap bermasalah. Tidak adanya laporan penggunaan anggaran yang pernah mencapai Rp16 Miliar pada tahun 2012-2013, kemudian merosot menjadi sekitar Rp7,8 Miliar tahun 2014-2016.

Besar pagu anggaran proyek FFI yang diajukan pemerintah ke DPR relatif fluktuatif. Saat FFI dimulai lagi pasca 12 tahun vakum di tahun 2004, Kementerian Pariwisata Seni dan Budaya (Kemenparsenibud), menitipkan Rp800 Juta ke pengurus Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) selaku panitia penyelenggara FFI.

Tahun 2005 anggaran FFI sekitar Rp1 Miliar di era Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar). Kemudian tahun 2006 sampai 2011 dana FFI bergeser naik menjadi Rp5 Miliar. Perubahan besaran anggaran ini diharapkan dapat meningkatkan performa dan kualitas FFI.

Dengan gagah pemerintah menggelontorkan Rp16 Miliar untuk FFI 2012 dan 2013. Hasilnya? Ajang penghargaan yang sempat ditolak oleh sejumlah orang film ini, semakin menuai aksi rebutan proyek dua kelompok elit perfilman nasional.

Meskipun sempat sekali menyelenggarakan FFI berbiaya Rp16 M di tahun 2013, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) -- tahun sebelumnya masih dibawah Kemenbudpar -- kemudian menurunkan anggaran FFI jadi Rp7-8 Miliar di tahun 2014. Kemudian sejak 2015 dan 2016, pagu anggaran FFI ini tidak berubah ketika perfilman berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

FFI yang dilaksanakan oleh BPI sejak 2014 ternyata tidak berubah secara signifikan dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Sejatinya, masyarakat perlu tahu mengapa unsur-unsur film yang dinilai oleh juri FFI mendapat nilai Terbaik dan mendapat Piala Citra.

Laporan pertanggungjawaban Dewan Juri atas film peraih Piala Citra dimaksudkan agar FFI tak hanya menjadi barometer bagi sineas di tahun berikutnya, namun menjadi informasi bermanfaat bagi masyarakat.

Pemotongan tayangan program "Malam Puncak FFI" di RCTI tidak perlu terjadi, jika panitia FFI 2016 rapih menjalin kerjasama dengan televisi, meskipun ada anggota panitia FFI yang bekerja di stasiun televisi milik taipan Harry Tanoesoedibyo itu.

Kericuhan pelaksanaan FFI 2016 ini menunjukkan kegagalan BPI sebagai penyelenggara, terutama upayanya untuk mengembalikan marwah ajang penghargaan yang pernah sangat bergengsi ini. Apapun itu, selamat untuk para peraih Piala Citra FFI 2016. **

Biodata: Penulis adalah Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Budaya (2009-2014), Ketua Bidang Humas dan Dokumentasi Festival Film Indonesia tahun 2008, Ketua Bidang Penjurian dan Kehumasan Usmar Ismail Awards tahun 2016, Ketua Dewan Juri Verifikasi Festival Film Jakarta tahun 2006, Dewan Juri Festival Film Wakatobi 2012, Dewan Juri XXI Short Film Festival 2012, Koordinator/ anggota Forum Pewarta Film.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun