Mohon tunggu...
Teguh puryanto
Teguh puryanto Mohon Tunggu... -

Jurnalis, penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Proxy War di Balik Seruan Anti Rokok Kretek

14 Desember 2015   02:08 Diperbarui: 14 Desember 2015   06:50 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kegiatan Industri rokok dan  tembakau di Indonesia terus mendapat tekanan dari rezim internasional  melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan  perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk membatasi produksi,  distribusi, dan penjualan tembakau di dunia dengan dalih kesehatan.

FCTC berisi dukungan bagi kegiatan kampanye anti-rokok secara  internasional dan nasional yang dibiayai industri kesehatan dan farmasi.  Salah satu target penting dari kampanye anti-rokok internasional adalah  bagaimana melakukan penjualan produk pengganti nikotin (yang disebut  dengan Nicotine Replacement Theraphy atau NRT) secara massal.

Belakangan  ini kegiatan tersebut didukung oleh Bank Dunia (World Bank) dan telah  masuk ke dalam satu program pencapaian pembangunan Millennium  Development Goals (MDGs).

Pada tahun 2011, pemerintah dan DPR  merancang Undang Undang (RUU) tentang pembatasan rokok untuk kesehatan.  Jika membaca seluruh draft rancangannya maka dapat disimpulkan bahwa RUU  ini mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam FCTC.

Di tingkat nasional,  pemerintah mengadopsi FCTC dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor  181/PMK.011/2009 tentang kenaikan cukai rokok. Peraturan ini  mengakibatkan bangkrutnya sejumlah perusahaan rokok. Jumlah pabrik rokok  di Malang Raya terus menurun dari 114 pabrik pada tahun 2009, menjadi  hanya tersisa sekitar 30 pabrik rokok kecil saat ini.

Di tingkat  daerah, rezim kesehatan internasional itu membiayai lahirnya berbagai  peraturan daerah (Perda) yang substansi aturannya mereplikasi  pasal-pasal dalam FCTC. Puluhan daerah di Indonesia telah secara resmi  mengeluarkan perda anti-rokok tanpa harus mengacu pada aturan hukum  nasional yang tingkatannya lebih tinggi.

Kebijakan menaikkan  cukai merupakan salah satu klausul penting dalam FCTC. Kenaikan cukai  merupakan rekomendasi dari lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia  sebagai bentuk dukungannya pada FCTC.

FCTC melibatkan berbagai  organisasi sosial (NGO atau LSM), organisasi kesehatan, organisasi  kedokteran, dan bahkan organisasi keagamaan. Seluruh organisasi tersebut  dibiayai langsung oleh rezim kesehatan internasional yang menyalurkan  dananya lewat Yayasan Bloomberg.

Kebijakan “rezim kesehatan  internasional” dan pemerintah Indonesia mengancam posisi industri  tembakau dalam negeri. Meluasnya kampanye anti-rokok dan kenaikan harga  cukai rokok yang berlangsung di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir  justru meningkatkan agresivitas perusahaan-perusahaan multinasional  dalam mengambil alih pasar nasional baik perusahaan kecil dan menengah  maupun dari perusahaan besar nasional.

"Perusahaan rokok besar Sampoerna  telah diambil alih oleh Philip Morris Internasional pada tahun 2005.  Sebelumnya British American Tobacco telah mengambil alih saham pabrik  rokok Bentoel pada tahun 2009"

Regulasi dan kampanye anti-rokok  sangat menguntungkan perusahaan multinasional. Jika pemerintah tetap  menyerah pada asing, bagaimana nasib berjuta manusia yang bergantung  pada industri tertua di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun