Mohon tunggu...
Abdul Rahman
Abdul Rahman Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan penulis

Kenikmatan yang diberikan Allah juga ujian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Suka Cahayanya

10 Oktober 2019   14:50 Diperbarui: 10 Oktober 2019   15:19 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta itu kata benda. Tapi wujudnya juga abstrak. Sulit didiskripsikan dengan gamblang. Sebab ketika orang terkena cinta akan kehilangan logika. Tapi jika kata benda itu berubah menjadi kata kerja, 'mencintai' maka aktifitasnya akan dapat diketahui dengan nyata. Hal yang semula abstrak menjadi nyata. 

Gejalanya juga akan sangat mudah didiagnosis. Jika orang sudah tak menggunakan matematika untuk berhitung sudah pasti terkena wabah cinta. Ketika orang menghitung sudah dengan perangkat rasa sudah positif itu wabah cinta. Ketika orang sudah tidak berpikir untung rugi, sudah pasti wabah cinta.

Ketika orang yang disakiti tapi malah dia yang meminta maaf, sudah pasti terkena wabah cinta. Kenapa disebut wabah? Sebab bisa juga sangat menyakitkan. Orang yang terkena cinta bisa bertindak yang tidak bisa diduga sebelumnya. 

Kenapa juga disebut wabah? Karena cinta yang menentukan targetnya. Cinta yang memilih hati untuk dimasuki. 

Seperti yang dirasakan Bambang. Bambang saat ini sedang memendam rasa cinta yang amat dalam. Dan persoalannya, dirinya tak sanggup untuk menyampaikannya. Memang secara teori gampang. Tinggal bicara, kalau ditolak bida cari lagi. Kalau seperti itu rasa cinta yang dimiliki belum layak disebut cinta.

Cinta itu bisa merenggut seluruh kehidupan. Jika masih berpikir gampang cari lagi, seperti orang mencari pekerjaan. Kalau belum ada lowongan bisa pindah ke lain perusahaan. Cinta tidak sesederhana itu. Dan kalau bisa disederhanakan, bukan cinta dalam kategori yang sedang dirasakan Bambang.

Bambang masih ingat, awal rasa cinta itu datang. Peristiwanya pun sederhana. Suatu hari, saat sedang menncari alamat, dia melihat seorang gadis, yang kemudian diketahui bernama Mutiara.

Bambang bertanya alamat yang ssefang dicarinya kepada Muriara. Mutiara bersikap sangat baik. Wajahnya sangat cantik. Rambutnya hitam. Panjangnya sekira 50 cm sehingga ujung rambut itu jatuh di atas pundaknya. Saking hitamnya rambut itu andai hidup di zaman para pujangga pastilah lahir puisi - puisi indah. 

Bambang yang bukan seorang pujangga saja sampai membuat status di whatsappnya, 'malam - malamku makin gelap karena hitam rambutmu.' Ngeri. 

Mata Mutiara  sangat hidup. Penuh optimisme dan prasangka baik. Siapa yang sempat bertatapan dengan dia langsung jatuh cinta. 

Apalagi sempat berbincang dengan dia. Tubuhnya seperti pohon jambu biji. Licin dan halus. Berkilau. 

Ketika Mutiara ditanya Bambang tentang alamat seseorang, Mutiara dengan cekatan mengantarnya menemukan alamat itu. Tapi begitu alamat yang dicari telah diketemukan, Bambang merasa ada yang hilang. Alamat yang dicari sudah tidak penting lagi. Ingin rasanya, bila perlu alamat itu tidak benar-benar bisa ditemukan. Asal bisa jalan berdua dengan Mutiara.

Tapi waktu sepertinya bergerak lebih cepat dari yang semestinya. Tahu - tahu Mutiara telah terpisah jauh. Dan meninggalkan jejak yang amat dalam. Walau hanya  sekilas, rasanya telah melewati selama berabad - abad. 

Bisnis yang telah disusun bersamaa temannya sudah tidak penting lagi. Bambang merasa ketemu Mutiara inilah bisnis yang sesungguhnya. 

Tapi  apa alasan yang kuat sehingga bisa mendatangi Mutiara? Mengucapkan terima kasih, sudah. 

Bisa saja datang ke rumah Mutiara untuk satu alasan tertentu, pasti akan disambut baik dan gembira. Mutiara itu sepertu mutiara. Polos dan bercahaya. Tapi Bambang berpikir tak mau bertindak bodoh. Kalau sekiranya mau bertindak berani, ya sekalian berani.  Kalau takut ya sudah lupakan. Tapi kalau ragu - ragu malah bisa merugikan diri sendiri.

Di sini Bambang masih menimbang mau berani atau mundur. Bambang mencoba mengkalkulasi kemungkinan yang ada. 

Kerugian terbesar jika tidak bisa mendapatkan Mutiara. Cuma itu? Masih ada lagi. Jika ternyata Mutiara adalah wanita yang sangat baik, dan bisa menjadi istri yang taat, tentu bukan hanya kehilangan Mutiara, tapi juga kehilangan istri yang baik.

Tapi agama mengajarkan jodoh itu takdir. Nah kalau ternyata Mutiara  adalah jodohnya, akan sangat rugi kalau tidak diperjuangkan. 

Bambang melihat cara Mutiara bicara, bisa dikategorikan orang  yang berpikiran merdeka. Dan terbuka. Mau memahami orang lain. 

Orang Jawa bilang, menang cacak, kalah cacak. Menang atau kalah sebaiknya dicoba dulu. 

Setelah mempertimbangkan Bambanng memutuskan untuk datang ke kediaman Mutiara. Tujuannya menyatakan cinta. Tentu tidak langsung seperti itu. Bambang akan melihat dari sambutan pertama. Dari situ akan  bisa diukur peluangnya. 

"Assalammualaaikum, " sapa Bambang di depan pintu rumah Mutiara. 

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab dari dalam rumah. 

Tak menunggu lama, pintu sudah dibuka. Yang membuka langsung Mutiara. Jantung Bambang rasanya ingin berhenti. Lidah mendadak kelu. Kata - kata yang sudah dihapal yang akan dikatakan jika ketemu Mutiara mendadak menguap. 

"Mutiara ada," tanya Bambang gugup.

"Lha, saya Mutiara. Ini mas Bambang yang tempo hari nanya alamat kan?" jawab Mutiara sekaligus mempertegas.

"Iya maaf. Kok berbeda. Dulu cantik soalnya," kata Bambag menjawab sekenanya. 

"Sekarang gak cantik ya? Mas Bambang bisa aja. Masuk dulu Mas," kata Mutiara sambil mempersilakan masuk. 

"Bukan begitu, sekarang lebih cantik lagi," balas Bambang mulai mempunyaii keberanian. 

"Mas Bambang mau minum apa?" kata Mutiara menawarkan. 

"Teh saja," jawab Bambang. 

"Manis atau tawar? Dingin atau panas? " tanya Mutiara lagi. 

"Saya mau yang manis dan hangat. Syukur - syukur setia," kata Bambang balas menggoda. 

"Kalau yang manis, hangat dan setia itu Teteh (kakak perempuan) bukan teh, " jawab Mutiara tidak kehilangan rasa humornya. 

Setelah melewati beberapa menit percakapan basa - basi, tentu sampai pada inti. Nah saatnya  hendak bicara maksud dan tujuan inilah, keberanian Bambang mendadak lenyap. Saking tak beraninya untuk bicara, mata Bambang tertuju terus ke arah lampu duduk yang ada di pojokan. Bambang tak sanggup untuk menatap ke arah Mutiara. Pandangannya jadi tertuju ke lampu di pojokan. 

"Gimana Mas, kok diam seperti ada setan lewat," kata Mutiara memecahkan suasana. 

"Nggak lampu yang di pojokan itu bagus. Saya suka," kata Bambang jawab sekenannya. Sesungguhnya bukan itu yang mau dikatakan Bambang. Tapi menjadi kaku untuk beberapa saat tidak bagus. Bambang harus berkata. Dan itulah kata yang keluar. 

"Wah... lampu  biasa mas. Di pasar banyak," kata Mutiara. 

Hampir setengah jam, Bambang di tempat Mutiara tak mengatakan yang sesungguhnya. Akhirnya pamitan. Dan berkata bahwa akan main lagi. 

Setelah kedatangan itu, hanya selang seminggu Bambang  sudah datang lagi. Tapi giliran harus bicara niat sesungguhnya, lidah Bambang  mendadak kelu. Dan yang keluar soal bagusnya lampu di pojokan. 

Tiga kali Bambang bolak - balik ke rumah Mutiara. Tapi selalu saja kata yang keluar adalah lampu pojokan. Sesungguhnya kalau mau dihitung benar, sudah belasan kali Bambang ke rumah Mutiara. Kadang hanya untuk lewat. Lihat gentengnya sudah cukup puas. 

Tapi status quo seperti ini tidak boleh berlarut - larut terlalu lama. 

Bambang bertekad sudah saatnya untjk mengkhiri kegalauan ini. Diterima atau tidak itu urusan ke sekian. Yang penting berani ngomong. 

"Assalamualaikum," kata Bambang memberi salam  sambil mengetuk pintu. 

"Waalaikumussalam," jawab dari dalam rumah. Tapi bukan Mutiara yang menjawab. Asisten rumah tangga Muriara. 

Asisten rumah tangga mempersilakan masuk. Dan mengatakan kalau Mutiara sedang pergi. 

"Kalau begitu saya pamitan. Tolong sampaikan Bambang datang ke rumah," kata Bambang. 

"Iya mas, ini juga ada titipan dari Mutiara," kata asisten rumah tangga sambil menyerahkan bungkusan. 

Berdegup jantung Bambang. Buru - buru pamitan dan penasaran inginsegera mengetahui  isi hadiah untuknya. Sebab kalau hadiah ultah, ulang tahun masih lama. Di jalan menuju ke rumahnya, tak sabar Bambang membuka bungkusan itu. 

Begitu dibuka, ternyata isinya lampu pojokan di ruang tamu Muriara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun