Mohon tunggu...
Teguh Gw
Teguh Gw Mohon Tunggu... Guru - Pernah menjadi guru

Pemerhati pendidikan, tinggal di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbaikan Mutu Guru Membutuhkan Guru Pamong

15 Maret 2019   10:21 Diperbarui: 3 Mei 2019   10:08 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Profesionalisme guru menjadi topik yang tidak bisa dilepaskan dari dirkursus mutu pendidikan. Tidak bisa disangkal bahwa guru memainkan peran kunci dalam membentuk kualitas hasil pendidikan. Gurulah pengendali proses pembelajaran yang memungkinkan standar isi pendidikan berfungsi sebagai bahan olahan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Untuk menghasilkan lulusan bermutu, diperlukan proses pembelajaran berkualitas. Untuk menjamin kualitas proses pembelajaran, diperlukan guru kompeten.

Bertolak dari kebutuhan tersebut, beberapa negara menerapkan seleksi yang ketat terhadap calon guru. Di Finlandia, misalnya, seleksi calon mahasiswa pendidikan guru dimulai dari seleksi hasil ujian matrikulasi (ujian akhir SMA), rapor SMA, dan rekam jejak prestasi di luar sekolah. Kandidat yang lolos seleksi awal tersebut kemudian mengikuti tiga macam tes. Pertama, tes kognitif. Tes tulis ini menguji pemahaman calon mahasiswa tentang pedagogi berdasarkan buku yang ditentukan. Kedua, tes bakat. Calon mahasiswa dilibatkan dalam aktivitas klinis tiruan situasi sekolah. Kecakapan interaksi sosial dan komunikasi diamati dan dinilai. Ketiga,tes minat. Calon mahasiswa diwawancarai, salah satu tujuannya untuk menggali motif mereka ingin menjadi guru.

Dengan seleksi seketat itu, tidak mengherankan bila di Finlandia, hanya para lulusan terbaik SMA yang berhasil mendapatkan tiket masuk program pendidikan guru. Pasi Sahlberg (2011) mencatat, sekitar 5.000 calon guru terpilih dari 20.000-an pelamar. Bahkan, untuk program pendidikan guru SD, yang lolos seleksi hanya sekitar satu di antara sepuluh pelamar. Di negeri salah satu top performer pendidikan ini, guru menjadi profesi kebanggaan yang didambakan oleh para lulusan SMA, di samping sangat terhormat di mata masyarakat.

Input yang unggul itu kemudian diikuti sistem pendidikan keguruan yang dikelola secara cermat. Selain matang dalam penguasaan pedagogi dan didaktik, mahasiswa calon guru juga mendapat pengalaman praktikum yang memadai. Selama kuliah, mahasiswa menempuh tiga tahap praktik pengalaman lapangan (PPL): dasar, lanjut, dan final. Dalam tiap-tiap tahap PPL, para mahasiswa menjalani tiga kegiatan. Pertama, mereka mengamati pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru berpengalaman. Kedua, mereka berlatih mengajar sambil diobservasi oleh guru penyelia. Ketiga, mereka melaksanakan pembelajaran secara mandiri di kelas yang berbeda-beda sambil dievaluasi oleh guru penyelia dan dosen. Sahlberg menyatakan, berkisar 15 sampai dengan 25 persen waktu kuliah dihabiskan untuk mendulang pengalaman praktikum di sekolah.

Dibandingkan keseriusan Finlandia, sistem pendidikan guru di Indonesia cukup memprihatinkan. Dari segi prioritas minat calon mahasiswa, fakultas keguruan masih menjadi kampus kelas dua. Langka lulusan terbaik SMA yang "berkenan" menjadikan profesi guru sebagai cita-citanya. Kondisi itu masih diperburuk dengan sistem seleksi yang tidak dikendalikan oleh standar minimal lolos (passing grade). Jumlah mahasiswa yang diterima ditentukan berdasarkan daya tampung kampus. Sah-sah saja untuk dicurigai bahwa kampuslah yang membutuhkan mahasiswa, bukan mahasiswa yang membutuhkan kampus pendidikan calon guru.

Rekrutmen calon mahasiswa yang ala kadarnya itu "disempurnakan" dengan sistem pendidikan guru yang serba tanggung. "Neither fish nor meat," kata Mochtar Buchori (1989), mengomentari kompetensi guru yang menyedihkan: ahli tidak, pendidik pun tidak. Kampus keguruan gagal membekali lulusannya dengan kecakapan profesional. Bekal pedagogi mentah, penguasaan didaktik tanggung, keterampilan pengembangan kurikulum minim.

Reformasi pendidikan guru tengah digulirkan. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan Guru mengisyaratkan semangat reformasi itu. Terbitnya regulasi ini layak untuk diapresiasi. Setidaknya, Peraturan Menteri tersebut mengelaborasi dua komponen: standar kompetensi lulusan dan standar isi. Dua komponen---standar proses dan standar penilaian---perlu diwaspadai. Kedua komponen inilah yang akan menentukan berfungsi atau tidaknya standar isi sebagai bekal untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Satu komponen lain yang tidak kalah penting untuk dicermati adalah sistem rekrutmen calon mahasiswa. Selama seleksi calon mahasiswa masih berbasis daya tampung (baca: kebutuhan kampus), harapan akan perbaikan itu bisa berubah menjadi kecemasan.

Sambil menanti perbaikan kualitas guru hasil reformasi, pembenahan kompetensi guru dalam jabatan tidak boleh diabaikan. Guru-guru yang sudah telanjur bekerja ini tersebar di berbagai satuan, jenjang, dan jenis sekolah di seluruh wilayah Negara. Sebagian besar masih akan menjalani profesi guru dalam dua atau tiga dekade ke depan. Mereka juga yang akan menjadi populasi mayoritas ketika guru-guru gaya baru--produk standardisasi pendidikan guru, kalau efektif--mulai mengabdi di sekolah-sekolah. Dengan status junior dan minoritas, para guru baru cenderung mengalami kendala psikologis untuk unjuk performa maksimal.

Berbagai langkah sudah dilakukan sebagai upaya meningkatkan profesionalisme guru dalam jabatan. Standar kualifikasi akademik sudah dinaikkan. Semua guru harus berpendidikan S1 atau D4. Sertifikasi profesi, yang berdampak terhadap perbaikan pendapatan guru, sudah dijalankan. Uji Kompetensi Guru (UKG), yang konon bertujuan untuk memetakan kebutuhan akan pengembangan keprofesian berkelanjutan, sudah dilaksanakan secara berkala. Aneka pelatihan dengan berbagai materi oleh berbagai lembaga juga terus-menerus diagendakan. Forum kolaborasi sejawat, melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), juga masih hidup.

Lantas, mengapa sederet upaya tersebut tidak kunjung berdampak signifikan secara merata? Praduga saya, program-program yang menguras energi, waktu, dan biaya itu "salah alamat". Tujuan luhur program-program tersebut hanya mandek di tataran das sollen. Sedangkan di tataran das sein, dalam banyak kasus aneka program itu hanya ritual simbolis untuk memperoleh pengakuan aksesoris. Interaksinya berbatas waktu, tidak sustainable.

Tentu, fenomena salah alamat itu tidak menimpa seluruh guru sasaran program. Masih banyak guru yang setia merawat idealisme dan serius menumbuhkembangkan profesionalisme. Sosok guru-guru mumpuni itu silih berganti bermunculan melalui aneka kompetisi. Keberadaan guru-guru unggul dan tangguh itu akan menyumbangkan manfaat lebih luas jika tersedia wadah apresiasi yang memadai.

Wadah apresiasi yang dimaksud adalah pemberian peran strategis dalam program pembinaan profesionalisme guru sejawat. Terlalu remeh jika apresiasi guru-guru hebat itu hanya berupa piagam dan hadiah materiel. Terlalu superfisial jika apresiasi atas prestasi mereka sekadar maujud dalam kenaikan pangkat atau promosi jabatan---diangkat sebagai kepala sekolah, misalnya.

Peran baru itu mesti membuka peluang terjadinya induksi dari guru profesional kepada guru-guru lain lintas sekolah. Di Singapura, ada guru yang berperan sebagai master teacher. Tugasnya, membimbing guru-guru sejawat agar mampu merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran secara optimal. Fungsinya, memastikan setiap guru memenuhi standar kualitas proses dan hasil pembelajaran. Sekadar catatan, guru-guru di Singapura punya tiga jalur pengembangan karier. Guru yang unggul dalam pengelolaan pembelajaran kelak dipromosikan menjadi master teacher. 

Guru yang cakap dalam kepemimpinan diproyeksikan untuk menjadi kepala sekolah. Guru yang punya passion di bidang riset diberdayakan dalam tim penelitian dan pengembangan untuk memajukan mutu pendidikan.

Konsep master teacher dapat diadopsi sebagai solusi bagi upaya pembinaan kinerja guru. Untuk memudahkan penyebutan, saya mengalihbahasakan master teacher menjadi guru pamong. 

Seleksi guru pamong dapat dilakukan dengan beragam teknik penilaian: tes, observasi, angket, dan wawancara. Formasi jabatan guru pamong berbasis bidang tugas. Untuk SD ada formasi guru pamong tiap-tiap tingkat kelas. Untuk SMP dan SMA/SMK ada formasi guru pamong tiap-tiap mata pelajaran.

Guru pamong tidak dibebani tugas mengajar di kelas siswa. Seluruh beban jam kerjanya didedikasikan untuk "mengasuh" guru-guru sejawat. Wilayah kerjanya bisa mengikuti sistem zonasi sekolah atau menurut proporsi beban pengasuhan yang efektif, misalnya: satu guru pamong mengasuh 15 guru. Pola pengasuhan dititikberatkan pada clinical coaching individual. Coaching dilakukan melalui observasi, pemodelan, dan pendampingan. Tatap muka klasikal dilakukan hanya untuk materi yang dibutuhkan oleh semua guru asuhan.

Para guru pamong itulah yang disasar sebagai peserta pelatihan untuk penyegaran dan pemutakhiran kompetensi. Selanjutnya, mereka bertanggung jawab untuk menularkan hasil pelatihan tersebut kepada guru-guru asuhannya. Kehadiran guru pamong diharapkan dapat memecah kebuntuan pola pembinaan profesionalisme guru dalam jabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun