Marhaen adalah gambaran secara umum kehidupan petani yang lambat dari sisi kemajuan usahanya padahal segala usaha pertanian tersebut ditopang oleh aset modal dan alat produksi sendiri.
Ide pertanian yang digali Sukarno dari Marhaen saat itu, bukan karena pendekatan terhadap sektor usahanya atau perputaran kapital sang petani yang cenderung stagnan bahkan menyusut seiring waktu.
Kultur bertani di tanah Parahyangan itu berkembang jauh sebelum kolonialisme masuk ke Nusantara.
Pilihan menjadi petani pun tidak secara keseluruhan digambarkan sebagai suatu pilihan pekerjaan, profesi atau jenis usaha tertentu.
Bertani menjadi ruh dari segala spirit yang hidup dalam dinamika pergerakan bangsa.
Orang bertani karena alasan kultural sekaligus penanda dari suatu proses kemajuan terutama kemajuan yang beranjak dari realitas pemikiran prasejarah orang-orang dimasa-masa kehidupan awal nusantara.
Sejarah panjang itu berkembang sejak manusia di Nusantara masih terkategorikan manusia purba, lalu memilih corak hidup berburu dan mengumpulkan makanan.
Lalu, karena meningkatnya tuntutan hidup dan polulasi saat itu, aktivitas berburu menjadi kurang relevan dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan.
Disamping itu, corak hidup berburu, melibatkan orang lebih kepada dasar penggunaan "insting hewani" saja, sehingga manusia tidaklah memiliki korelasi terhadap pembagian peran sosial yang spesifik.
Dapat dibayangkan, keadaan sangat kacau pada saat itu karena perebutan sumber makanan selalu terjadi diamana-mana.
Belum terdapat gagasan membagi atau menyimpan sumber daya yang diperoleh karena dalam setiap proses berburu, semua sumber makanan langsung habis secara cepat dengan sendirinya.