Upaya mencipta kultur estetis tidak boleh mati karena alasan pameran sudah digelar.
Kritik terhadap seni semestinya tetap hidup dalam ruang-ruang karya seniman juga para penikmat seninya.
Ada sejumlah karya seni rupa yang ditampilkan saat itu. Ikon-ikon pemikiran para seniman sebagai pintu masuk menelisik kelapangan pandangan manusia.
Pameran itu ibarat pemantik dari pelaku seni bagi para apresiator dalam hal meluaskan jangkauan pandangan seninya kepada berbagai sisi kehidupan lain.
Agama diantaranya, termasuk salah satu ruang bagi seni bereksistensi.
Praktek seni dalam agama ditunjukan oleh sikap peribadatan dan faktor-faktor pendukungnya.
Berpakaian rapih saat sembahyang, puji-pujian menyebut nama-nama Yang Maha Kuasa hingga syair-syair untuk membahagiakan, rambu-rambu dan membimbing kontemplasi manusia, itu termasuk seni.
Kalangan agamawan besar terdahulu, dibalik karya-karya besarnya dalam berkesenian, menempatkan seni tidak hanya untuk berkembang sempit dalam dunia seni itu sendiri.
Karya-karya besar pujangga dalam untaian syair-syairnya yang menarik, banyak terispirasi dari pemikiran-pemikiran agama.
Lalu dengan daya cipta yang dimilikinya menginspirasi perkembangan disiplin lain barbagai macam keilmuan dan berkembang lebih luas dari seni itu sendiri.
Karya besar seniman itu pemantik. Manusia tercerahkan oleh pemantik-pemantik seni, sehingga pada akhirnya manusia mampu meluaskan cara pandang dan sikap berdasar potensi besar masing-masing yang dimilikinya.