Perubahan jaman yang mengarah kepada era digital, hadir bersama  tantangan-tantangannya tersendiri.
Pengaruh yang muncul pun menerpa berbagai ruang realitas kehidupan termasuk kebudayaan.
Tidak jarang, tantangan era digital dimaksud dalam kurun waktu tertentu menjelma bak ancaman bagi eksistensi budaya itu sendiri.
Dengan adanya hal itu, faktor ataupun stakeholder pengisi jaman, membutuhkan pola adaptasi baru serta kepekaan sosial yang berkesinambungan.
Dengan cara inilah kebudayaan tercermati akan mampu menjaga perannya dalam era digital.
Menyimak dialog dalam sebuah perhelatan perayaan hari jadi atau disnatalis salah satu  perguruan tinggi swasta di Bandung yang ke-20, yaitu Universitas Al-Ghifari, Budayawan Sunda sekaligus mantan politisi senior, Popong Otje Djundjunan, mengemukakan bahwa, penting bagi suatu bangsa menjaga eksistensi budayanya. Upaya konkrit menjaga kepentingan itu adalah dengan mengedepankan pondasi pemahaman budaya melalui jalan pendidikan.
Kekuatan pengaruh pendidikan tersebut didorong mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga lalu sekolah atau lembaga pendidikan dan pada akhirnya adalah masyatakat.
Mimpi melestarikan, membangun atau mempertahankan jati diri suatu kebudayaan  luhur suatu bangsa tertentu, mutlak terletak pada kesiapan membangun generasi penerus yang handal. Dalam arti lain, bagaimana anak cucu bangsa mampu tampil sebagai insan yang paham terhadap segala macam keunggulan kebudayaannya sendiri.
Mindset budaya yang terasosiasiskan dalam istilah budaya Barat atau budaya Timur, sudah selayaknya kita melakukan redefinisi dan menghapus stigma ketimpangan bahwa segala sesuatu yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang diunggulkan.
Pengaruh besar dunia di dalam pergaulan global, lahir dari sudut-sudut yang beragam. Sesuatu yang khas dalam ranah budaya Timur, kini sudah memberi pengaruh yang sama terhadap belahan dunia lain.
Komunikasi semakin terbuka. Hal ini memungkinkan banyak pihak melakukan eksplorasi berbagai potensi dan mengemukakannya kepada banyak pihak.