Akibatnya, sebagian partai lebih memilih jalan pintas dan pragmatis, yakni menunggu permohonan rekomendasi dari figur publik yang ingin maju dalam pilkada, karena berpindahnya orientasi Parpol sebagai candra dimuka pembentuk kader pemimpin ke orientasi materlistik, dan menjauhkan dari dari orentasi Demokrasi yang sesungguhnya.
Dari ketiga faktor tersebut membuat pertarungan semakin sulit, namun lebih mudah untuk calon tunggal/dinasty politik sesungguhnya sudah keluar dari apa yang dinamakan Demokrasi bahkan (1) tidak demokratis, karena takut berkompetisi dengan calon lain secara fair dan berkeadilan.
Kemudian (2) terlalu ambisius untuk mempertahankan dan/atau mewariskan jabatan kekuasaan, kecenderungan memanfaatkan infratstruktur pemerintah daerah baik akses kekuasaan maupun finacial, termasukl infrastruktur politik di daerah.
Infrastruktur financial di luar pemerintahan, Selanjutnya (3) Parlemen threshold 20% sebagai peluang besar, begitu juga calon independent 6,5-10 persen yang sulit. Syarat tersebut sangat berat, sehingga (4) proses kaderisasi melalui Parpol di daerah sebuah kegagalan.
Efeknya (5) sudah kehilangan rasa malu jika terpilih, hanya nafsu menjadi pemimpin. (6) Proses mencari partai pengusung berdasarkan jumlah kursi di DPRD lebih dilihat bermain di pasar Gelap yang sering disebut "Invisible Hand". (7) Menghambat dan membunuh hak demokrasi seseorang untuk mencalon sebagai Calon Pasangan Pemilu;Â
Karena (8) menghambat dan mematikan hak demokrasi pemilih yang memilih hak untuk memilih calon diluar pasangan tunggal dan kotak kosong. (9) Indikasi merugikan keugangan negara semakin kental, yang cenderung bermain di wilayah KKN. Apalagi (10) terciptanya Pemerintah Daerah yang memiliki indicator bermain di wilayah KKN; (11) menggagal calon lain lebih berkompeten secara track record.
Dari data dan inforamsi diatas, banyaknya Calon pasangan tungal menimbulkan penolakan masyarakat dengan calon tuunggal yang sudah diyakini akan merusak demokrasi yang bertujuan untuk mensejahterakan daerah masing-masing,Â
Jika kita lihat dari tujuan Pilkada, yang sesungguhnya, dari beberapa penelitian dan evaluasi Dinasti Politik justru nyata membuat kemiskinan bagi rakyatnya, karena munculnya paraketek KKN yang TSM.
Bentuk penolakan calon tunggal atau dinasti politik tersebut adalah munculnya gerakan moral di tengah masyarakat semacam pembentuk aliensi untuk memenang kotak kosong, walupun disadari, bahwa mekanisme pertanggungan jawaban kotak kosong belum diakomodir oleh UU, dan ini fakta nyata di lapangan.Â
Karena diyakini berdasarkan survey dan penelitian Dinasti Politik kental dengan nuansa KKN, seperti Dinasti Atut di Banten, Dinasti Kutai Kartanegara, Dinasti Cimahi, dll, sehingga merambah dinasti Politik di berebagai daerah membuat masyarakat mulai waspada dengan membuat Gerakan social untuk memenangkan Kotak Kosong.
Adapun KKN yang dimaksud berindikasi akan bergerak ke segala dimensi kehidupanan di daerah, antara lain KKN Birokrat/Guru, KKN Proyek baik APBD I, APBDN 2 maupun APBN baik fisik maupun non fisik, KKN, KKN terkait kebijakan, KKN terkait perizinan baik jasa maupun pengelolaan Sumber Daya Alam.