Sejak gendrang pilkada Mabar 2020 ditabuhkan pada bulan September 2019 kemarin banyak para politisi bersemangat mendeklasikan diri sebagai bakal calon (balon) kemudian melakukan pendaftaran ke berbagai partai politik.
 Begitupun sebaliknya, beberapa partai politik sembari membuka pendaftaran, mereka juga menyampaikan penyataan dukungan penuh kepada politisi tertentu.Â
Selain itu, para Balon secara intensif bergerilya turun ke masyarakat dan tidak sungkan-sungkan menyampaikan sejumlah gagasannya untuk membangun Mabar ke depannya.Â
Hasil amatan penulis sendiri dari berbagai berita yang berseliweran di lini masa media sosial, semua para Balon yang tampil mempunyai formulasi visi yang berkelas untuk Mabar ke depannya.
 Tetapi berdasarkan teori komunikasi politik, visi yang disampaikan oleh seorang politisi dalam pertarungan politik tidak sekadar kalimat hampa-tanpa makna, tapi memiliki sejumlah modus operandi tertentu, salah satu yang paling penting yaitu untuk menarik perhatian massa-rakyat. Hal ini dilakukan untuk meraih kekuasaan. Â
Namun, satu pertanyaan yang perlu kita refleksikan, apakah mereka yang maju sebagai petarung di pilkada kali ini mempunyai visi yang lahir dari hati nurani atau hanya lahir dari nafsu kekuasaan belaka? Visi-misi dari hati nurani adalah yang oleh kebanyakan orang menyebutnya sebagai kehendak baik. Dan visi-misi nafsu kekuasaan adalah interest pribadi untuk memuaskan diri sendiri serta mengesampingkan kepentingan masyarakat. Nafsu kekuasaan ini sering dijumpai dalam diri koruptor, melegitimasi kekuasaan hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi. Dua kekuatan besar ini, hati nurani dan nasfu kekuasaan sudah pasti menyelinap masuk di pintu pentas pilkada Mabar 2020.
 Dengan demikian, pilkada Mabar 2020 jangan secara mutlak dibaca sebagai ajang memperbaiki kondisi rakyat. Tetapi harus dianalisa dari dua sisi. Pada sisi yang pertama, ia menjadi kekuatan baru Mabar kedepannya dan di sisi lainnya menjadi momok yang menakutkan bagi perjalanan Kabupaten Mabar kedepannya. Kekuatan baru terjadi jika semua kontestan mempunyai visi-misi yang berlandaskan nurani atau moralitas bangsa.Â
Moralitas berbangsa muncul ketika seorang kandidat memunyai kehendak baik dalam dirinya untuk ikut bertarung. Sebaliknya pilkada Mabar 2020 akan menjadi peristiwa yang menakutkan jika mereka yang maju bertarung hanya untuk memenuhi hasratnya untuk berkuasa.Â
Filsuf Jerman, Friedrick Nietzsche pernah mengatakan dengan kalimat yang menakjubkan, yaitu kehendak berkuasa (will to power).Â
Bila hasrat berkuasa ini dibiarkan, maka panggung politik dipenuhi oleh semangat menghalalkan segala cara. Berkaitan dengan fenomena ini, ajaran Machiavelli selalu menjadi dasar pijakan bagi para politisi yang mengabaikan kehendak baik dalam memburu kursi kekuasaan.
Oleh karena itu, kehendak baik adalah hal yang paling penting untuk ditumbuhkan dalam diri para Balon karena hanya dengan kehendak baik segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat akan dijadikan masalah utama untuk kemudian diperhatikan secara serius.