Mohon tunggu...
Ali Irfan
Ali Irfan Mohon Tunggu... -

Teacher, writer, trainer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengorkestrasi Kelas

9 April 2013   13:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:28 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kalau anda sebagai guru, menghadapi anak-anak hiperaktif, yang selalu ribut di kelas, nggak pernah bisa diam, dan selalu inginnya main saja meski sedang belajar, jangan putus asa dulu, apalagi sampai mencoba bunuh diri, (oh, no!). Anda juga tak perlu mengambil berlembar-lembar tisu atau sapu tangan untuk mengelap derasnya air mata yang mengalir kemudian memerasnya. Sekali lagi jangan lakukan itu, karena itu lebay. :)

Yang harus kita lakukan adalah, cukuplah menilai diri dengan melontarkan satu pertanyaan kenapa mereka tak mau kita kendalikan? Penting kita ketahui adalah hak mengajar anak-anak bukanlah milik kita. Tapi anak-anak yang kita ajarlah yang memberikan hak mengajar itu kepada kita. Selama anak-anak merasa nyaman dengan kehadiran kita, itu berarti kita telah mendapatkan hak itu.

Jujur saat awal-awal saya menjadi guru saya seringkali kerepotan menghadapi anak-anak model begitu. Kelas ramai, gaduh, asyik bermain sendiri, guru datang seperti tak dihiraukan, guru bicara seperti dianggap angin lalu, karena sama sekali tak mempengaruhi keasyikkan mereka. Ada yang nyanyi-nyanyi, adayang menggambar sesuka hati, kejar-kejaran, berkelahi, saling meledek, dan masih banyak lagi. Hal itu bisaterjadi karena saat itu saya sama sekali tak punya senjata! Tapisekarang, kondisi semacam itu tak bisa saya biarkan terjadi!

Menghadapi anak-anak seperti itu, tugas kita sebagai guru hanyalah mengondisikan siswa pada kondisi dimana mereka siap belajar. Menit-menit pertama akan sangat menentukan pada menit-menit berikutnya. Jika pada kesempatan pertama kita sudahgagal, bukan tidak menutup kemungkinan, kegagalan itu akan berdampak pada menit-menit berikutnya, bahkan sampai pada menit-menit terakhir. Dari sini bolehlah kita menduga, kalau kita lupa membawa senjata saat masuk kelas.

Satu pertanyaan pun muncul ketika masuk kelas senjata apa yang harus kita bawa?

Tuding? penggaris besar? pentungan kasti? Pedang? Atau AK-47? Eits, tunggu dulu, ini mau perang atau mau mengajar? Bukan itu senjata yang saya maksud. Senjata itu adalah siasat, alat peraga, media pendukung agar bisa meluluhkan hati dan meredamkeributan di tengah suasana yang selalu ramai.

Saya sepakat sekali dengan suasana kelas yang hidup, tapi bukan ramai yang tidak beraturan dan tak bertujuan. Kelas penuh permainan, tapi target mengajar pada hari itu tidak tercapai, juga bukan itu yang kita harapkan. Bolehlah permainan menjadi bagian, sebagai ice breaker, sebagai pemecah kebekuan agar suasana mengajar tidak menjenuhkan. Namun itu juga jangan mengabaikan kreativitas anak-anak. Kreativitas mereka tetap harus bisa tersalurkan, dengan cara dan waktu yang tepat.

Meski bukan temuan baru, namun ketika diterapkan terasa sangat dampaknya. Hari-hari berlalu saya memutar otak, mencari siasat, cara apa untuk menjinakkan anak-anak yang liar ketika saya mengajar. Hingga muncullah ide menggunakan musik sebagai media belajar. Musik merupakan media yang tepat untuk mengorkestrasi kelas, karena lewat hasil penelitian disimpulkan bahwa ia diyakini dapat mengembalikan, lebih tepatnya mengondisikan gelombang otak sesuai yang kita inginkan. Sebagai contoh kembali ke zona alfa, yakni sebuah zona ketika anak-anak siap menerima pelajaran.

Pada menit-menit pertama (pre teaching), saya pilih musik-musik yang penuh semangat, seperti Sonata for Two Pianos in D dari Wolfgang Amadeus Mozart, Paganini for Two dari Nicola Paganini, dan The Universal (The Great Escapes) dari Blur. Saat proses belajar sedang berlangsung; saya memilih Canon in D, dari Johan Pachelbel, Adagio in G Minor dari Tomaso Albioni, Symphony No 38 dari Wolfgang Amadeus Mozart.

Pada saat siswa sedang melakukan aktivitas, seperti menulis atau mengerjakan soal bisa kita putar Mediterrano (The seventh Heave n), Rising in Love, Da Walking on Clouds dari Govi. Saat relaksasibisa kita putarkan Nocturne in E Flat Major dari Frederic Chopin, Pachelbel;’s Canon in D dari Motion Picture, symphony no 6 dari Ludwig Van Beethoven, The four seasons, dan Antonio Vivaldi. Bahkan saat pelajaran selesai kita bisa putarkan We are the Champion (Queen), Theme Tune (Lion King), atau Celebration (Fun Factory).

Kalau anak-anak terlihat jenuh, kita bisa melakukan hal yang menurut banyak orang adalah konyol. Tapi apa salahnya kalau itu dicoba selama itu bisa memecah kebekuan dan mengendurkan otot-otot pikiran yangtegang. Di hadapan mereka saya bilang begini, “Mari semua berbaris rapi. Sebentar lagi kita akan belajar menari yang sudah sangat populer di dunia! Ini beneran, nggak bercanda. Ikuti semua gerakan dengan baik.” Begitu perintah saya yang saya sampaikan dengan roman muka serius.

Tahukah anda, musik apa yang saya putar kemudian?

Chicken dance!

Saat saya mempraktekkan ini, suasana kelas menjadi ramai, masing-masing anak menari bersama mengikuti gerakan tarian ayam. Kelas menjadi hidup, anak-anak bahagia, tertawa dan menari bersama. Bahkan, ada satu anak yang masih dibidai tangannya karena patah, ikut menari bersama. Ia nggak sadar, kalau tangannya masih digips, tapi ia masih menari.

Tak masalah kita repot sedikit, bawa speaker aktif, laptop, sebagai media pemutar musik, pakai handphone juga bisa biar lebih simpel. Jika sudah begitu, jangan kaget kalau ketika pelajaran selesai, anak-anak minta terus belajar. Saya saja sampai disandera sama anak-anak kelas 3 A, mereka minta saya mengajar di kelas tersebut. Mencoba meloloskan diri nggak bisa karena anak-anak sekelas melakukan pagar betis di depan pintu, dan menarik kembali ke dalam kelas. Gara-garanya saya pernah mengajar mereka sambil mendendangkan musik di kelas mereka. Keinginan mereka hanya satu, belajar Bahasa Inggris lagi pakai musik. Padahal saya ada jadwal mengajar di kelas lain. Wauw!

Musik adalah bahasa pemersatu. Makanya saya bela-belain bawa speaker aktif, dan mencari musik-musik instrumental sebagai soundtrack ketika pelajaran berlangsung. Asal tahu saja, saya mengajar di Sekolah Islam Terpadu MI Luqman Al Hakim, di mana rata-rata anaknya adalah aktif, bahkan hiperaktif. Mereka seperti tak kenal kata lelah, bahkan tak jarang sebelum bel masuk saja, badan mereka sudah basah karena keringat.

Tak jarang di antara mereka mengalami gesekan, mereka berantem gara-gara masalah sepele. Untuk masalah satu ini, saya menilai bahwa mereka sedang belajar tentang kehidupan yang sebenarnya. Sejenak saya melihat bagaimana mereka menyelesaikan masalah cara mereka, namun ketika kondisinya sudah tidak memungkinkan, baru saya turun tangan, saya dekap mereka, lalu mendamaikan keduanya. Selepas itu, mereka pun bermain lagi seperti biasa. Itulah menariknya anak-anak. Tadi berantem sekarang sudah baikan lagi.

Memutar musik saat di kelas bisa menjadi media pemersatu. Itulah salah satu senjata yang bisa kita pakai saat mengajar. Musik bisa menjadi peredam, karena bisa kita pilih jenis musik sesuai dengan suasana kelas. Dengan demikian kelas akan benar-benar terorkrestasi dan hidup! Anda mau coba? Silahkan, selamatmengorkestrasi gaya mengajar anda!

Ali Irfan, Guru Sekolah Islam Terpadu MI Luqman Al Hakim Slawi Kabupaten Tegal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun