Mohon tunggu...
Dwi Nanda AR
Dwi Nanda AR Mohon Tunggu... Guru - Educator

Guru di SMPN 27 Tanjung Jabung Timur, Mencoba Menulis di Kompasiana, Dll

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Semangat Berapi-api Cut Nyak Dien

15 November 2019   22:18 Diperbarui: 15 November 2019   22:19 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 dari keluarga bangsawan Aceh yang taat beragama di Lampadang wilayah VI Mukim. Dari garis ayahnya, Cut Nyak Dien merupakan keturunan langsung Sultan Aceh yang bernama Teuku Nanta Setia perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama dan rumah tangga (yang dididik baik oleh orang tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.

Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas, alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Ketika Perang Aceh meluas pada tanggal 26 Maret 1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur, pasukannya terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih terpencil. Dalam pertempuran di Sela Glee Tarun, pada tanggal 29 Juni 1878 gugur. Hali ini membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkn Belanda,

Kendati demikian, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api. Kebetulan saat upacara penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang kemudian menjadi suami sekaligus rekan perjuangan, dan kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dien sendiri.

Bersama, mereka membangun kembali kekuatan dan menghancurkan markas Belanda di sejumlah tempat. Namun, ujian berat kembali dirasa ketika pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Sementara itu, Belanda yang tahu pasukan Cut Nyak Dien melemah dan hanya bisa menghindar terus melakukan tekanan.

Akibatnya, kondisi fisik dan kesehatan Cut Nyak Dien semakin menurun, namun pertempuran tetap ia lakukan tanpa ada kata menyerah. Melihat kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali, menawarkan menyerahkan diri ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan menegaskan untuk terus bertempur dengan semangat yang berapi-api.

Pada posisi perlawanan yang semakin sulit akibat jepitan dari pengepungan pasukan Belanda yang tidak henti-hentinya mencari dan akhirnya Cut Nyak Dien berhasil ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya terhadap masyarakat Aceh, ia diasingkan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan penglihatan.

Ia wafat pada 6 November 1908 diusianya yang sudah tua dan dimakamkan di Sumedang. Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960 kala Pemda Aceh sengaja melakukan penelusuran. Perjuangan Cut Nyak Dien membuat seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, kagum dan menggelarinya "Ratu Aceh".

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, ada seorang  tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu). Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun