Mohon tunggu...
Tb Adhi
Tb Adhi Mohon Tunggu... Jurnalis - Pencinta Damai
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Sich selbst zu lieben ist keine ritelkeit, sondern vernunft

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tragedi Kemanusiaan dari Kanjuruhan

3 Oktober 2022   11:05 Diperbarui: 3 Oktober 2022   11:32 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri berikan keterangan pers terkait Tragedi Kanjuruhan. (Foto: Di'sway)


PENGATURAN skor, penentuan juara sebelum kompetisi berakhir, fanatisme suporter yang berlebihan, arogansi pemegang hak siar dalam menentukan jam kick-off (mulai) pertandingan dengan rating tinggi, tidak profesionalismenya panitia dan tenaga/aparat pengamanan, amatirnya PSSI dalam bekerja.

Itu semua wajah sepak bola Indonesia dan didiamkan selama bertahun-tahun. Tidak ada yang mengambil hikmah  dari tiap kejadian. Kerusuhan di dalam dan luar stadion sudah lama terjadi di Indonesia, tetapi tidak ada yang mau belajar.

Suporter meninggal, itu pun sudah lama terjadi di Indonesia, tetapi tidak ada yang mau belajar. Setiap kali jatuh korban, hanya harapan "Semoga ini yang terakhir" yang disampaikan. Tetapi, korban terus berjatuhan. Dan, puncaknya di Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022) malam. Tetap, "Semoga ini yang terakhir," yang bisa dikemukakan.

Masalah gas air mata di dalam stadion, sudah berdekade lalu diingatkan, tetapi Indonesia tidak mau belajar.

Apakah 125 jiwa yang meninggal di dalam stadion Kanjuruhan, Kepanjen, Kabupaten Malang, belum cukup untuk membuat kita belajar?

Ada gas air mata di dalam stadion dan kondisi bukan kerusuhan dua kelompok suporter berbeda. Yang ada hanya kekecewaan suporter Arema, Aremania, karena untuk pertama kalinya dalam 23 tahun terakhir tim Singo Edan harus menyerah 2-2 pada tim Bajul Ijo, Persebaya, di Kanjuruhan. Yang rusuh di lapangan, gas air mata ditembakkan ke berbagai tribun penonton, membuat penonton berdesakan ke luar.

41134-kapolri-kunjungi-korban-kanjuruhan-633a5e858e083d5f9a61e322.jpg
41134-kapolri-kunjungi-korban-kanjuruhan-633a5e858e083d5f9a61e322.jpg
Melihat sedikit rekaman kejadian yang ditayangkan baik oleh media resmi, maupun video amatir yang yang berseliweran di medsos, tragedi kemanusiaan--seperti yang juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo-- di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) malam itu, apakah kerusuhan suporter, artinya suporter yang rusuh, atau ketidakmampuan mengendalikan massa? 

Keliru melakukan antisipasi, mengambil langkah? Sudah saatnya sepak bola sebagai olahraga tidak dikorbankan demi kepentingan keuntungan satu atau dua pihak pihak. Yang pertama, pelaksana kompetisi, operator liga, yang dalam hal ini adalah PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Jauh-jauh hari PT LIB sudah memastikan laga Arema vs Persebaya dalam lanjutan Liga I BRI 2022 ini digelar mulai pukul 20.00 WIB di salah satu televisi swasta yang memiliki jargon "Rumah Sepak bola Indonesia". 

Panpel dari Arema dan pihak kepolisian berkirim surat ke PSSI selaku regulator kompetisi agar jam pertandingan dimajukan, ke 15.30 WIB. Mereka mempertimbangkan rentannya pertandingan, dibayangi 'permusuhan abadi' Persebaya dan Arema.

Namun, LIB bergeming. Mereka berdalih, penonton asal Surabaya tidak diperkenankan datang ke Kanjuruhan. Akhirnya, pertandingan tetap dilaksanakan malam hari, mulai 20.00 WIB itu. Panitia pertandingan dan aparat keamanan nunut saja.

Batas antara tertib dan rusuh itu cuma segaris. Apa yang terjadi di Kanjuruhan, Malang, sangat mungkin terjadi di kota-kota lain yang mempertemukan dua klub yang diwarnai atmosfir permusuhan kental kelompok suporternya. Semua tergantung pada kesiapan panitia pelaksana dan aparat keamanan. Juga, apakah kita siap menegakkan aturan? Karena peraturan gampang dibuat tapi menegakkannya yang susah. Termasuk mentertibkan media sosial yang provokatif.

Sudah ada aturan baku dari FIFA tentang pelarangan gas air mata di dalam stadion. Bagaimana sebenarnya peran federasi dan operator liga dalam mensosialisasikan peraturan mahapenting tersebut di kompetisi sepak bola Indonesia ? Apakah hal ini pernah dikoordinasikan dengan pihak keamanan oleh PSSI dan PT LIB?

Presiden Joko Widodo memberi penegasan agar pihak-pihak terkait seperti Menpora, Kapolri, dan Ketum  PSSSI melakukan evaluasi menyeluruh terkait tragedi kemanusiaan di stadion Kanjuruhan tersebut. Kompetisi disarankan untuk dihentikan hingga evaluasi selesai dilakukan. Di luar, masyarakat luas dan komunitas sepak bola secara umum, meminta dilakukannya penyelidikan menyeluruh atas insiden Kanjuruhan dan meminta pihak-pihak yang bertanggung-jawan mengundurkan diri.

Achsanul Qosasi, presiden klub Madura United yang berlaga di kompetisi Liga I, menyambut instruksi Presiden Jokowi dengan meminta pengurus PSSI untuk mundur. Ia juga mendesak kompetisi Liga 1 dihentikan total. Kedua hal itu sebagai bentuk tanggung jawab terhadap insiden Kanjuruhan.

Hentikan kompetisi sampai ada statemen resmi dari FIFA, demikian cuitan presiden Madura United itu dalam akun twitter resminya, @AchsanulQosasi, Minggu (2/10/2022).

"PSSI wajib bertanggung jawab, dan semua pengurusnya harus Mundur. Sbg respect thd korban & keluarganya. Tak perlu PSSI membuat Tim ini-itu. Serahkan saja kepada kemenpora/KONI selaku organ Pemerintah. Libatkan penegak hukum dan FIFA utk membuat Investigasi atau langkah yang diperlukan," sambung anggota BPK RI itu.

Amnesty International Indonesia, seperti dikutip media, meminta pengusutan tuntas atas penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa penonton saat pertandingan Arema vs Persebaya itu.

"Tragedi ini mengingatkan kita pada tragedi sepak bola serupa di Peru tahun 1964 di mana saat itu lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa lalu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen," tulis Amnesty International Indonesia.
 
"Sungguh memilukan 58 tahun kemudian, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata. Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan."***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun