Mohon tunggu...
Tazqia Aulia Zalzabillah
Tazqia Aulia Zalzabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

Ilmu Komunikasi 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Program Siaran Smackdown Terhadap Perilaku Anak-anak

22 Juni 2021   20:53 Diperbarui: 22 Juni 2021   21:18 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hadirnya televisi menuai banyak faktor yang mendorong berkembangnya media massa. Namun, tayangan televisi di Indonesia sepertinya masih belum lepas dari tayangan kekerasan. Televisi yang diharapkan berguna sebagai sarana untuk mendapatkan informasi justru membuat audiens menjadi terbiasa karena melihat tindakan kekerasan, bahkan ada yang menganggap tindakan tersebut adalah hal biasa yang terjadi.

Kemampuan televisi dalam menarik audiens telah menunjukkan bahwa televisi telah menguasai jarak dan aspek sosial. Televisi sebagai media massa terus berusaha menyampaikan berbagai tayangan kepada konsumennya, melalui program acara yang ditawarkan dimana hal tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat umum sebagai konsumen. 

Program berita yang ditawarkan juga sangat beragam, terkadang sebuah acara di stasiun televisi swasta atau layanan penyiaran publik secara sengaja menayangkan tayangan kekerasan tanpa menyertai sensor. Seperti tawuran pelajar, kekerasan antar adat atau etnis, penggerebekan PKL, kasus penghakiman pada maling dan sebagainya.

Dalam Undang-undang Penyiaran tahun 2002 Pasal 36 ayat 5 menyatakan bahwa isi siaran dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) KPI tahun 2012 mengariskan lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan kekerasan.

Aturan tentang tayangan kekerasan yang terdapat di UU Penyiaran dan P3SPS KPI menegaskan bahwa dampak akibat tayangan tersebut sangat riskan terutama bagi anak dan remaja karena itu pengaturannya sangat ketat. Penjelasan aturan yang lebih detail mengenai tayangan kekerasan terdapat dalam Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012 Pasal 23, 24 dan 25.

Berdasarkan suatu penelitian melalui content spesific menunjukkan audiens yang sering menonton tayangan kekerasan di televisi cenderung berperilaku agresif. Mereka yang menonton tayangan yang berisi adegan seks cenderung berperilaku seks menyimpang, serta responden menonton tayangan iklan cenderung konsumtif (Parwadi, 2005). Dari adanya perubahan tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan audiens berpotensi mencontoh perilaku kekerasan terhadap tayangan yang mereka lihat di televisi.

Masyarakat berasumsi bahwa munculnya perilaku agresif yang melanda kalangan anak-anak tersebut sebagai akibat semakin maraknya acara stasiun televisi yang menyajikan adegan kekerasan. Seperti contohnya terdapat tayangan program acara  "smackdown" yang dianggap sebagai tayangan yang paling bertanggungjawab. Bahkan pihak KPI akan mengajukan tuntutan pidana terhadap pengelola stasiun televisi yang tidak mengindahkan teguran yang telah diberikan sebagaimana diatur dalam Undang -- Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Dalam UU ini Isi siaran dari jasa penyiaran televisi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang -- kurangnya 60% (enam puluh per seratus) mata acara yang berasal dari dalam negeri. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

Pakar hukum dan Komunikasi mengatakan, media massa merupakan salah satu saluran komunikasi yang sangat efektif (mudah mempengaruhi perilaku khalayak). Menurut beliau maraknya media massa (termasuk media elektronik) menyajikan informasi-informasi yang sarat dengan kekerasan, terutama terjadi menjelang runtuhnya kekuasaan orde baru (orba). Sekitar tiga tahun sebelum pemerintahan orde baru terguling, kerusuhan politik dan kerusuhan sosial mulai merebak di beberapa daerah. Sejak saat itu pula media massa mulai "membudayakan" informasi tentang kekerasan, yang berimplikasi kekerasan informasi. Artinya, informasi yang bersifat keras, mengerikan bagi audience. Informasi mencangkup berita, ulasan, tajuk, karikatur, pojok, tulisan wartawan, dll.

Jika kita melihat secara jelas masalah kekerasan yang kaitannya dengan masalah anak, maka anak bisa dalam posisi sebagai obyek maupun sebagai subyek dari kekerasan. Namun perlu disadari bahwa seorang anak yang melakukan tindak kekerasan, sesungguhnya dia sendiri tidak sepenuhnya menyadari makna dari perbuatan yang dilakukanya. Sesungguhnya dia adalah korban dari kondisi lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan jiwa anak.

penyebab tingkah laku menyimpang pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosio-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu ditengah kelompoknya partisipasi sosial, dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.

Era reformasi telah membawa peningkatan kekerasan atau kekejaman sosial. Media Massa pun terlibat didalamnya dengan pemberitaan yang kian bernuansa kekerasan dan sensasi yang berlebihan. Kekerasan menjadi begitu permisif dalam kehidupan keluarga. Setiap hari kita disuguhi dengan berbagai tayangan yang penuh dengan adegan kekerasan, sehingga tidak ada lagi ibu-ibu yang menjerit ketika melihat suatu tayangan yang penuh luka dan ceceran darah di sekujur tubuhnya. Anak-anak pun sudah terlalu akrab dan terbiasa mengonsumsi tayangan-tayangan seperti itu. Padahal ada ungkapan bahwa "Apa yang anda tonton, itulah cermin watak anda kelak ".

Dalam kondisi demikian, para pelaku mediapun tidak mau disalahkan. Dengan dalih kebebasan pers, demokrasi, keterbukaan, HAM dan lain-lain, seolah-olah bisa menghalalkan segala cara. Hal tersebut diperkuat dengan legalitas formal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 

Peraturan perundang-undangan yang yang dibuat dalam suasana euphoria reformasi secara tidak langsung telah memberikan keleluasaan kepada "para pelaku usaha" dibidang media massa. Pasal 4 Undang-Undang Nomor.40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas dinyatakan bahwa : (1) kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberendelan atau pelarangan penyiaran. (3) untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Sedangkan dalam Pasal 18 ditegaskan bahwa : (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 ( lima ratus juta rupiah).

Masih hangat dalam ingatan mengenai tayangan salah satu program "smackdown", dimana program tersebut berisi hal yang sangat erat dengan kekerasan dan ditayangkan secara rutin tanpa adanya sensor. 

Program acara tersebut sangat digemari oleh para audiens, terutama kalangan anak -- anak. Harus adanya penanganan yang sigap dari pihak pemerintah dalam mengontrol sensor acara dan pendampingan dari orang tua saat anak menonton tayangan tersebut agar tidak berakhir dengan hal fatal. Karena pada dasarnya, kasus peniruan dari program acara tersebut biasanya berujung pada adanya korban luka bahkan ada yang meninggal.

Yang perlu diperhatikan lebih berhati -- hati saat ini adalah masih adanya tayangan tentang tindakan kekerasan yang ditayangkan secara vulgar tanpa sensor, bahkan ada masyarakat yang menganggap tindakan tersebut adalah hal biasa terjadi dan ikut menirunya.

Karena begitu besarnya pengaruh tayangan terhadap perilaku seseorang, terutama bagi anak -- anak, maka pemerintah sudah seharusnya melakukan tindakan pembinaan bagi para pengelola stasiun televisi. Khusus kepada instansi yang terkait pembinaan dimaksud terutama dalam hal menyeleksi tayangan -- tayangan yang dapat membahayakan masa depan anak.

Tapi tidak semua bentuk kekerasan dalam kehidupan sehari -- hari nyata karena televisi. Bisa saja karena faktor pengalaman kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga atau pengaruh dari lingkungan sekitar. Tetapi harus tetap diperhatikan lagi mengenai dampak tayangan kekerasan di televisi, agar kita dapat mengetahui faktor -- faktor yang memicu meniru tindakan kekerasan yang ada pada tayangan tersebut serta menemukan cara untuk mencegah dan mengatasinya.

Peran media penyiaran dapat dilihat sebagai medium pembentukan karakter bangsa. Untuk mewujudkan itu, media penyiaran harus sesuai fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, penyedian hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, ekonomi dan pengembang budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun