Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

(Tak Selalu) Perlu Rasa untuk Berkarya

28 Mei 2021   21:00 Diperbarui: 28 Mei 2021   21:01 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ingat, (tak selalu) perlu rasa untuk berkarya (superprof.co.id)

Kalau Anda sedang sedih dan jadilah puisi tentang kesedihan, itu mah biasa. Kalau Anda sedang bahagia lalu lahir cerpen kebahagiaan itu juga adalah hal yang biasa. Mungkin tidak terlalu biasa, karena tidak juga semua orang bisa. Tapi maksudnya adalah memang begitulah umumnya yang terjadi pada banyak orang.

Istimewa? Entahlah. Keistimewaan terkadang hanya bisa diketahui bagi yang melihat dan merasakannya langsung. Misalnya, Anak saya tentu istimewa untuk saya. Anak Anda juga begitu untuk Anda. Saya belum tentu menganggap anak Anda istimewa pun begitu sebaliknya. Bukan karena mereka tidak istimewa, hanya karena kita belum pernah bersama dalam jangka waktu yang cukup lama saja, itu salah satu alasannya.

(Tak Selalu) Butuh Rasa Untuk Berkarya

Ketika salah satu orang terdekat saya berpulang ke rahmatullah, satu benar-benar sedih luar biasa kala itu. Tapi tepat satu hari setelahnya, saya harus berangkat ke luar kota untuk sebuah pelatihan yang memang sudah kami agendakan dari jauh hari.

Apakah saya bisa membatalkan pelatihan itu? Tentu. Dan saya yakin pihak seberang juga maklum karena situasinya darurat dan insidental. Tapi poin saya lebih dari itu. 

Poin saya adalah, saya (alhamdulillah) bisa mengontrol emosi sedih saya saat itu untuk tetap berkarya. Padahal, saya punya ruang untuk larut dalam kesedihan dan seterusnya. Singkatnya, saya tetap bisa berkarya dan bukan dipengaruhi oleh rasa dan emosi saya saat itu.

Kalau saja saya menuruti emosi dan rasa saya saat itu, bisa jadi saya tidak akan keluar kamar 2 hari, meresapi kehilangan itu, mungkin menulis beberapa bait puisi dan seterusnya. Apakah saya melakukan hal itu? Iya, tapi justru saya melakukannya beberapa bulan setelah saya mengingat kembali kejadian itu.

Jadi, apakah Anda butuh sebuah situasi rasa dulu baru bisa berkarya? saya yakin jawabannya tidak selalu begitu. Justru saya khawatir, kalau Anda baru bisa berkarya karena situasi sedih, senang, bahagia dan seterusnya. Bagaimana dengan situasi marah, benci dan energi negatif lainnya? apakah jadinya karya Anda akan sama "buruknya" dengan perasaan buruk itu?

Ingat, bukan rasa yang mengontrol diri Anda. Tapi Andalah yang mengontrol rasa dan pikiran itu. Jangan sampai rasa itu bisa mengontrol jiwa, diri apalagi karya Anda. Karena kalau itu sampai terjadi, maka jangan kaget, kalau warna karya Anda akan seirama dengan rasa yang muncul di dalam hati Anda.

Ini bukan sekadar boleh atau tidak rasa menghasilkan karya, tapi lebih jauh dari itu, Anda punya hak penuh untuk mengontrol apapun yang ingin Anda lakukan. Biarkan rasa jadi warna dalam kehidupan ini, tapi jangan biarkan dia mengambil porsi utama dalam kehidupan Anda, apalagi sampai punya "wewenang" untuk menentukan karya apa yang harus Anda keluarkan.

Semoga bermanfaat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun