"Apa kamu tidak berpikir lagi, apa yang kamu harapkan hanya dari nelayan seperti kita?"
"Anak mu itu berbakat Nuddin. Lihat saja tangannya, pandai menulis hasil ikan belum lagi kalau dia menghitung jumlah uang hasil penjualan ikan. Di keluarga kita dari selatan sampai Poso, belum ada karakter seperti Altaf"
"Dan kamu ingin seperti keluarga lain, tetap menjadi nelayan. Hah. Begitukah? Altaf itu rejeki sangat istimewa" nada tinggi kakek membuat bungkam seisi rumah.
"Bagaimana bisa Altaf lanjut sekolah? di provinsi lagi. Tidak ada kenalan disana apalagi uang untuk membiayai sekolahnya" ucap ayah dengan nada rendah agar tidak menyinggung ucapan kakek.
"Jual saja tanahku yang 10 Aro, untuk biaya sekolah dan tempat tinggal Altaf di provinsi jika itu masalahnya" masih dengan nada tinggi, kakek menyampaikan solusinya. Akhirnya, ayah mengangguk, sekaligus membuka lebar mimpi untuk tetap sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
Tujuh tahun kemudian setelah percakapan sengit di ruang tengah, akhirnya aku berhasil lulus sarjana dari Universitas terbaik di Pulau Jawa melalui jalur beasiswa prestasi. Sedangkan rekan seperjuanganku, La-Tang tetap menjadi nelayan dengan penghasilan seadanya. Jika dahulu, Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial sudah ada di desa kami mungkin La-Tang bisa tetap bersekolah untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan yang lebih bermartabat.