Mohon tunggu...
deddy Febrianto Holo
deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Relawan - Semangat baru

Rasa memiliki adalah perlindungan alam yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Tani Nasional "Nasib Petani di Tengah Krisis Lingkungan"

24 September 2022   14:04 Diperbarui: 24 September 2022   14:13 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perlindungan Petani, Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim


Hari Tani Nasional pada 24 September 2022 yang ke 62 tahun negara seharusnya merefleksi kembali sejauh mana keberpihakan terhadap petani. Isu pertanian menjadi topik yang paling banyak dibahas dalam ruang publik hal ini dikarenakan petani memegang peran penting tumbuh kembangnya negara. Ironisnya sampai saat ini masih banyak petani kita mengalami diskriminasi pembangunan dan bahkan petani di kriminalisasi.


Mengutip dari laman Kemdikbud, sejarah Hari Tani Nasional yang bertujuan untuk memperingati perjuangan golongan petani Indonesia bermula dengan dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960.


Selain itu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani menegaskan bahwa Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.


jika menengok sejarah panjang dari berdirinya Negara Indonesia, petani telah memberikan kontribusi yang besar dalam mencapai kemerdekaan. Perjuangan kaum Marhaen yang kemudian direduksi oleh Ir. Soekarno menjadi sebuah filosofi ideologi dan gerakan perjuangan merupakan titik bangkitnya semangat petani untuk keluar dari tirani penjajahan kolonial saat itu.


Kini tantangan dan persoalan petani pasca kemerdekaan bukan lagi tentang mengusir penjajah seperti dahulu akan tetapi petani kita harus bertahan dan berjuang mempertahankan sumber daya dan ruang hidupnya atas perampasan lahan yang dilakukan oleh pemodal (koorporasi).


Bicara ketahanan pangan tentu kita harus mendahulukan duduk persoalan yang mendasar yaitu tentang perlindungan petani oleh negara, bukan saja secara normatif dalam kacamata hukum dan kebijakan, tetapi sikap dan keberpihakan negara harus nyata kepada petani dalam memberikan perlindungan.


Petani hari ini bukan saja menghadapi persoalan perampasan lahan oleh koorporasi akan tetapi petani saat ini berhadapan dengan dampak perubahan iklim yang secara langsung mempengaruhi produktifitas pangan. Hal ini dapat dilihat di sejumlah wilayah agraris di Indonesia mengalami kekeringan panjang dan gagal tanam hal ini disebabkan adanya perubahan iklim.


Saat ini masifnya pembangunan Industry secara langsung meminggirkan kaum petani dari sumber-sumber kehidupannya. Pembangunan yang mengabaikan wilayah kelola rakyat hari ini memicu konflik antara petani , koorporasi dan negara. Keberpihakan negara justru lebih mengamankan kepentingan pemodal dibandingkan petani.  


Salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat ketika petani kerap di kriminalisasi, bahkan di bunuh atas nama Industry pariwisata seperti yang terjadi di pulau Sumba pada 2018 silam di mana salah seorang petani bernama Poro Dukka harus meregang nyawa saat mempertahankan lahannya dari koorporasi. Negara menjadi kaki tangan koorporasi untuk memuluskan penguasaan lahan petani.


Dari peristiwa ini tentu harapan di hari Tani Nasional menjadi momentum penting bagi negara untuk benar-benar berpihak dan melindungi petani serta sumber dayanya. Penegakan hukum terhadap koorporasi yang secara sepihak merampas ruang hidup petani perlu ditindak tegas oleh negara.
Potret Krisis Lingkungan
Potret krisis lingkungan di Indonesia saat ini turut memberikan sumbangsih terjadinya perubahan iklim, kebakaran hutan, pembalakan liar, masifnya Industry ekstraktif yang menimbulkan karbon adalah bagian dari krisis iklim.


Indonesia memiliki hutan yang luas namun faktanya kawasan hutan di konsesi untuk kepentingan perkebunan monokultur skala besar. Hutan yang pada dasarnya sebagai penyangga keseimbangan tidak lagi menjadi benteng alam.
Dampak perubahan iklim yang dirasakan oleh sejumlah petani di Nusa Tenggara Timur memberikan gambaran yang nyata ancaman krisis pangan saat ini. 

Untuk diketahui NTT merupakan wilayah yang kerap mengalami kemarau yang panjang dimana dalam 1 tahun intensitas curah hujan berkisar hanya empat bulan sementara musim kemarau panjang berkisar sampai delapan bulan. Artinya bahwa wilayah NTT sangat rentan dengan rawan pangan dan membawa persoalan lain seperti kemiskinan dan gizi buruk.


Perubahan iklim menjadi tantangan serius dalam mewujudkan swasembada pangan, selain itu pentingnya menyelamatkan petani sebagai ujung tombak pembangunan ekonomi Indonesia harus segera dibereskan secepat mungkin dari hulu sampai hilir.  


Ancaman serius hari ini ketika dampak perubahan iklim menyasar pada sektor pertanian yang menjadi urat nadi pembangunan. Berbagai kebijakan dan aktivitas pembangunan cenderung mengabaikan prinsip ekologis. Petani pun dirundung krisis pangan bahkan lahan yang menjadi sumber hidup petani hilang akibat krisis lingkungan.


Salah satu dampak yang dirasakan oleh petani saat ini adalah ketika menurunnya produksi beras, berubahnya musim atau kalender tanam akibat hujan yang tidak menentu,  kemarau panjang merupakan akumulasi dari krisis iklim saat ini.


Alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan Industry ekstraktif  yang terjadi di Indonesia saat ini justru menjadi pemicu meningkatnya konflik agraria. Strategi ketahanan pangan Indonesia masih sebatas pada pembukaan lahan yang sering kali merusak hutan dan mencaplok lahan masyarakat adat yang berprofesi sebagai petani, selain itu, kerusakan hutan, sumber air dan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada sektor pertanian monokultur membuat tanah semakin rusak.  


Oleh karena itu, sangat penting sekali menyelamatkan nasib petani dan ketahanan pangan dari ancaman perampasan lahan karena sumber produksi yang dimiliki petani untuk hidup dan sejahtera adalah tanah. Lebih jauh lagi petani harus mendapatkan perlindungan negara dari adanya dampak perubahan iklim.  


Deddy F. Holo

Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanan WALHI NTT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun