Mohon tunggu...
Bahasa Artikel Utama

Menyoal Bahasa Daerah yang Semakin Tergerus Zaman

28 November 2018   20:57 Diperbarui: 29 November 2018   20:09 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.idntimes.com

Kenapa harus belajar bahasa daerah? suatu pemikiran yang kadang-kadang terlintas dalam benak tapi terkadang ya berlalu begitu saja, namanya juga terlintas sekedar lewat saja.

Zaman memang bergeser dan harusnya memang begitu, itu adalah bukti bahwa kita mengalami kehidupan, selalu dinamis.

Begitu juga dengan penggunaan bahasa yang katanya alat komunikasi ini, tak perlu melihat perbandingan dari 50 atau 100 tahun lalu. Coba kita ingat lagi awal penggunaan telepon genggam tak ada singkatan dalam pengiriman pesan singkat. 

Lambat laun semuanya berubah (meski negara api tidak menyerang he he). Mulai ada penyingkatan semacam "dr mn?" lalu tanda "x" yang diakui sebagai "nya" yang lumayan agak baru adalah penggunaan "gaess"untuk menyapa orang banyak dan pelesetan guys. Ada lagi "kuy" yang merupakan kebalikan dari yuk.

Di zaman sekarang ini kata "deri dimma, teko endi, ti mana" memang tak se populer kata dari mana. Ada yang tau, kata yang dicetak miring itu berasal dari mana? (Silahkan cari tau sendiri), semuanya memiliki sebuah kesamaan yakni semuanya merupakan bahasa daerah yang penggunaanya mulai tergerus.

Tergerusnya penggunaan bahasa daerah bisa bermacam-macam, mulai dari penggunaannya yang dianggap tidak efektif, karena berbeda penggunaan pada orang yang lebih muda, dan pada yang lebih tua. Penggunaannya yang bersifat regional bukan nasional.

Padahal bahasa merupakan bagian dari budaya, ia juga representasi dari penggunanya. Ada ungkapan bahwa duniamu seluas bahasamu. Ungkapan ini tentu ada benarnya, semisal kita menguasai 3 bahasa tentu berbeda dengan mereka yang hanya menguasai 1 bahasa saja. Interaksi dan komunikasi akan lebih luas bagi mereka yang menguasai 3 bahasa.

Kalau hanya masalah komunikasi bukankah bisa menggunakan isyarat atau penerjemah, nah lantas di mana manfaatnya? Bahasa memang bisa diterjemahkan, tapi belum tentu dengan konteksnya. Setiap bahasa memiliki keunikannya sendiri. Bahasa erat kaitannya dengan budaya, seringkali kata dalam sebuah bahasa tidak ada padanannya dalam bahasa yang lain.

Semisal padanan kata dari "cah gemblung, sontoloyo, mbelgedes" tentu bisa diterjemahkan ke bahasa Indonesia, namun tidaklah lucu jika konteksnya coba kita terjemahkan, dan mencoba berkomunkasi dengan bahasa Indonesia dengan konteks tersebut, ada makna yang hilang dan tidak bisa diterjemahkan.

Ada pula yang namanya "ungah-ungguh" yang penggunaanya tidak sama pada setiap lawan bicara. Penggunaannya tentu tak sama dengan orang yang lebih tua dengan orang yang sebaya. Berbeda juga dengan bahasa Inggris yang penggunaannya, cukup menggunakan bentuk kedua dari modal; could you please open the door? would you pick me at 7? Ini sudah menunjukkan kesopanan buat orang Inggris.

Ya begitulah, bahasa daerah seringkali dicap tidak praktis karenanya. Namun, karena bahasa juga merupakan bagian dari budaya tentu ada nilai yang terkandung di dalamnya. Biar saya beri contoh kejadian tentang bahasa daerah yang sedikit menggelitik. Kalau tidak salah terjadi pada 2013 ramadhan saat berkunjung ke Yogyakarta, lebih tepatnya Parangtritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun