Dalam istilah Bpk Herman J. W, puisi kamar berseberangan dengan puisi auditory. Demikian ia sebut dalam bentuk bentuk puisi di Buku Apresiasi Puisinya.Â
Puisi auditory terwakilkan oleh puisi puisi Rendra, yang menggelegar, membawa temasosial-kontekstual, sarat kritik dan menggunalan  idiom mimbar.
Sebagain dari Puisi Chairil Anwar juga bersifat auditory, seperti "Aku", yang ekspresif dan lantang, yang tak cocok" bila hanya dibaca sendiri.Â
Adapun puisi kamar, ia relatif sangat personal, sarat perenungan, Â hanya menampilkan satir dan sindiran tentang realitas keseharian.
Puisi kamar akan sangat berbeda nuansanya bila dibacakan di podium, tidak bisa menggelegar dan menggedor seperti puisi auditory.Â
Dalam puisi kamar, nuansa keheningan, khusuk dan gairah mesti masuk ke dalam relung hati/benak audiens. Dengannya si audiens akan menangkap satu persepsi dan pengertian. Atau suatu makna yang bisa ia hayati.Â
Contohnya: "Bahasa Rindu"/Taufiq Sentana. ===
Di sini, sepi dan beku. Tanpa wajahmu. Bunga bunga batu memekarkan hasrat rindu. Hanya dengan wajahmu dalam satu pertemuan.Â